
IHSG-Rupiah-Obligasi Melemah, Memang Indonesia Salah Apa?

Padahal secara fundamental, ekonomi Indonesia tidak jelek-jelek amat. Pada dua kuartal terakhir 2020, transaksi berjalan (current account) berhasil membukukan surplus, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak 2011.
Artinya, pasokan devisa di perekonomian nasional sudah memadai karena neraca perdagangan barang dan jasa tidak minus lagi. Rupiah tidak terlampau tergantung oleh pasokan valas dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).
Pada kuartal I-2021, bukan tidak mungkin transaksi berjalan kembali surplus. Soalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan barang mencatat surplus dalam dua bulan pertama 2021. Ini membuat peluang surplus transaksi berjalan tidak bisa dikesampingkan.
Kekuatan fundamental ekonomi Tanah Air bahkan sudah diakui oleh DBS. Bank beraset terbesar di Asia Tenggara itu menilai investor agak menyepelekan kekuatan Indonesia.
"Investor global khawatir melihat pasar negara berkembang karena kenaikan yield obligasi AS. Hal serupa terjadi saat taper tantrum 2013. Namun, kami berpandangan investor kurang mengapresiasi bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat," tulis riset DBS berjudul IndoGB: Underappreciated yang dirilis 10 Maret 2021.
Ada lima hal yang membuat DBS menilai fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat. Pertama adalah kepemilikan asing di SBN semakin berkurang. Ini membuat risiko guncangan di pasar SBN mengecil.
"Porsi kepemilikan asing turun ke kisaran 24%, dibandingkan dengan 39% pada awal 2020. Pada 2012, sebelum taper tantrum, kepemilikan asing di SBN adalah 33%," lanjut riset DBS.
Kedua, tren kenaikan harga komoditas telah mendongrak kinerja ekspor Indonesia. Seperti disinggung sebelumnya, neraca perdagangan berhasil membukukan surplus yang lumayan tinggi pada Januari dan Februari.
Ketiga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini lebih terkendali. Belum lama ini, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan penerbitan SBN bisa dikurangi karena pemerintah masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) yang jumlahnya bisa mencapai Rp 100 triliun.
"Untuk mengurangi tekanan, dan memang karena kita punya kondisi kas yang cukup besar, kita akan gunakan sebagian dari Silpa saat ini range-nya antara Rp 80-100 triliun untuk mengurangi pembiayaan utang kita di 2021, mengurangi target penerbitan SBN," jelas Luky.
Keempat, DBS menilai valuasi SBN kelewat murah (undervalued). Begitu urusan investor dengan US Treasury Bonds kelar, maka arus modal akan kembali masuk ke pasar SBN. "Kami memperkirakan investor akan mengalokasikan lebih banyak dana ke negara berkembang dalam beberapa bulan ke depan," sebut riset DBS.
Terakhir, bagaimanapun pasar keuangan Indonesia masih memberikan cuan gede. Saat ini selisih (spread) antara SBN dan US Treasury Bonds tenor 10 tahun ada di 503,58 bps. Bahkan kalau yield obligasi pemerintahan Joseph 'Joe' Biden naik, SBN tetap akan menarik.
"Kami memperkirakan yield obligasi pemerintah AS bisa naik 10-15 bps menuju 1,75%. Dengan yield SBN yang kurang lebih 7%, tentu masih sangat atraktif," sebut riset DBS.
Halaman Selanjutnya --> Indonesia Perlu Mempercantik Diri
(aji/dru)