Setoran Pajak Seret, Tanda RI Masih Terjerat Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 February 2021 06:35
Golden Truly, Gunung Sahari yang tutup
Foto: Golden Truly, Gunung Sahari yang tutup (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Data setoran pajak menjadi bukti baru bahwa gerak ekonomi domestik pada hingga awal 2021 masih lesu. Sebelumnya ada tiga data yang sudah memberi konfirmasi soal itu.

Pertama adalah inflasi yang lajunya semakin melambat. Pada Januari 2021, inflasi Indonesia tercatat 0,26% secara bulanan (month-to-month/Mtm) atau 1,55 YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0,45% MtM dan 1,68% YoY.

Bulan ini, bukan tidak mungkin inflasi semakin melambat. Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan III, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi Februari 2021 sebesar 0,07% MtM dan 1,34% YoY.

Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengungkapkan bahwa perlambatan laju inflasi disebabkan oleh kombinasi dua faktor. Pertama adalah pasokan yang terjaga, dan kedua lemahnya permintaan. Namun sepertinya faktor kedua sangat kental terasa.

"Kalau kita lihat, memasuki 2021 ini dampak Covid-19 belum reda dan masih membayangi perekonomian berbaga negara, termasuk Indonesia. Mobilitas berkurang, roda ekonomi terhambat, dan berpengaruh ke permintaan," kata Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Data kedua adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada Januari 2021, IKK tercatat sebesar 84,9, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 96,5.

IKK menggunkaan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka konsumen secara umum pesimistis dalam memandang perekonomian, baik saat ini maupun enam bulan yang akan datang.

"Pada Januari 2021, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah dari bulan sebelumnya, diindikasi karena diberlakukannya kebijakan PPKM di beberapa wilayah, khususnya Jawa dan Bali, yang berdampak pada kembali menurunnya aktivitas ekonomi dan terbatasnya penghasilan masyarakat. Keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini melemah disebabkan penurunan penghasilan rutin (gaji/upah/honor) maupun omset usaha, yang ditengarai akibat PPKM.

"Keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada Januari 2021 juga tercatat menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Sejalan dengan penurunan keyakinan terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama pada Januari 2021 juga mengalami penurunan, terutama pada jenis barang elektronik, furnitur, dan perabot rumah tangga," jelas laporan BI.

Ketiga adalah penjualan ritel. BI melaporkan penjualan ritel yang diukur dengan Indeks Penjualan Rill (IPR) pada Desember 2020 adalah 190,1. Dibandingkan bulan sebelumnya memang naik 4,8%.

Namun perubahan secara bulanan agak kurang mencerminkan tren, karena diganggu oleh faktor musiman. Misalnya pada Desember tentu lebih baik ketimbang November karena ada momentum Hari Natal-Tahun Baru.

Oleh karena itu, biasanya yang lebih menggambarkan tren sehingga lebih konsisten adalah pertumbuhan tahunan. Nah, dalam hal ini penjualan ritel masih nyungsep dan belum kunjung bangkit.

Secara tahunan, penjualan ritel pada Desember 2020 tumbuh -19,2% YoY. Lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang -16,3% YoY.

Kali terakhir Indonesia membukukan pertumbuhan penjualan ritel yang positif pada November 2019. Artinya, kontraksi penjualan ritel sudah terjadi selama 13 bulan beruntun.

Apesnya, kemungkinan penderitaan itu masih berlanjut. BI memperkirakan penjualan ritel pada Januari 2021 masih negatif, hanya lebih landai di -14,2% YoY.

"Secara bulanan, IPR Januari 2021 diprakirakan menurun sebesar -1,8% sejalan dengan faktor musiman permintaan masyarakat yang menurun pasca-HBKN di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta faktor musim/cuaca dan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah," sebut keterangan tertulis BI.

Halaman Selanjutnya --> Apakah Indonesia Masih Resesi?

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular