Internasional

Awas 'Lampu Merah' Hubungan Arab Saudi & AS, Ini Alasannya

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
18 February 2021 12:08
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menghadiri pembukaan KTT para pemimpin G20 di Buenos Aires, Argentina 30 November 2018. REUTERS / Sergio Moraes / File Foto
Foto: Presiden terpilih Joe Biden. (AP/Evan Vucci)

Torbjorn Soltvedt menjelaskan perlakuan Biden ke MBS sebenarnya berdasar. Apalagi selama kampanye Pemilu Presiden AS 2020, Biden memang menunjukkan ketidaksukaan pada tindak tanduk Arab Saudi di bawah MBS.

Pertama, Biden menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Perang itu telah menciptakan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk akibat ulah manusia di dunia.

Hal ini kemudian membuat Biden menghentikan sementara penjualan senjata AS ke Arab Saudi. Saat Trump berkuasa, ini diizinkan meski ada catatan keberatan dari Parlemen AS.

Kementerian Luar Negeri Trump telah membuat kesepakatan US$ 290 miliar (Rp 4 triliun) dengan Arab Saudi. Secara rinci, salah satu jenis senjata yang dipesan adalah bom diameter kecil GBU-39/BI (SDB I), yang dikembangkan Boeing dan diproduksi satu dekade lalu.

Lalu, kasus pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khassogi yang dituding didalangi oleh MBS. Khashoggi yang berusia 59 tahun adalah kolumnis lama Washington Post dan dikenal sebagai orang yang kerap mengkritik kerajaan Arab Saudi.

Khashoggi meninggal karena dibunuh dan dimutilasi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018, saat pergi ke sana untuk mendapatkan dokumen untuk pernikahannya yang akan dilangsungkan. Namun sejak memasuki konsulat, Khashoggi tidak pernah muncul kembali.

Biden menilai telah menciderai nilai hak asasi manusia. Sementara Trump, dinilai permisif meski sejumlah persidangan dan pelapor PBB menyebutkan hubungan kematian sang jurnalis dengan MBS.

Alasan berikutnya adalah perang harga minyak. Kedua negara terlibat ketegangan di April 2019 saat Arab Saudi dan Rusia membuat harga minyak AS terpukul.

Arab Saudi, saat itu, tidak mau berhenti menggenjot ekspor minyak, menjadikannya sebagai negara eksportir minyak teratas. Ekspor mereka yang semula berlaku di April, lalu ditambah lagi untuk Mei.

Total tambahan sejak mereka mengumumkan rencana tersebut kini menjadi 3,6 juta barel sehari. Angka yang sangat signifikan mengingat kondisi pasar global saat ini dan turunnya harga minyak dunia.

"Dengan perang yang sedang berlangsung di Yaman, tindakan keras terhadap anggota terkemuka elit politik dan bisnis negara pada tahun 2017, pembunuhan Jamal Khashoggi pada tahun 2018, dan perang harga minyak tahun lalu, Biden memiliki cukup alasan dengan permasalahan itu," tulis Soltvedt.

Soltvedt menilai ini sebuah peringatan besar bagi Saudi sehingga Riyadh harus memulai manuver-manuver politik yang dapat mengubah situasi. Sebab, hubungan AS dan negeri pimpinan keluarga Al Saud itu akan diwarnai aksi "tidak terduga".

Hal senada juga dikatakan pengamat lain, seorang mantan pejabat pemerintahan Presiden Obama, di mana Biden menjadi wakil. "(Arab) Saudi dan Washington dalam posisi terburuk yang pernah mereka alami. Tapi itu ditutupi oleh Gedung Putih Trump," katanya.

Halaman 3>>>

(sef/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular