Internasional

Awas 'Lampu Merah' Hubungan Arab Saudi & AS, Ini Alasannya

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
18 February 2021 12:08
Presiden terpilih Joe Biden. (AP/Evan Vucci)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemberitaan mengejutkan datang dari Amerika Serikat (AS). Presiden Joe Biden melalui Sekretaris pers tiba-tiba memberi pesan serius pada Arab Saudi.

In terkait dengan siapa Biden akan berkomunikasi. Bukan dengan pemimpin de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), Biden hanya akan berbicara dengan sang raja yakni Raja Salman bin Abdulaziz.

Dalam kepemimpinan Arab Saudi saat ini, MBS memiliki peran signifikan. Ia merupakan perdana menteri dan yang mengatur kebijakan termasuk ekonomi negara itu.

Di saat Donald Trump berkuasa menjadi presiden AS, keduanya bahkan dekat. MBS bahkan 'hadir' dalam beberapa keputusan penting Trump termasuk soal pembukaan diplomatik hubungan beberapa negara Arab dengan Israel.

Namun pesan Biden kali ini berbeda. Psaki menggambarkan hubungan dengan MBS masih dalam bentuk 'pertunangan' dan belum resmi.

"Rekan presiden adalah Raja Salman, dan saya berharap pada waktu yang tepat, dia (Biden) akan berbicara dengannya (MBS)," kata Psaki lagi saat ditanya soal posisi MBS di mata Biden.

Menurut para analis, langkah ini merupakan sesuatu yang amat berani diambil Biden. Apalagi posisi MBS sangatlah penting dalam mempengaruhi kebijakan mengenai Timur Tengah.

'Ini 'penghinaan' terhadap MBS merupakan peringatan bagi Arab Saudi," kata Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email dikutip dari CNBC International Kamis (18/2/2021).

"Ini akan dilihat sebagai ketidaksetujuan terhadap kepemimpinan MBS yang ditandai dengan pengambilan keputusan yang tidak terduga dan pendekatan konsultatif yang jauh lebih sedikit daripada di masa lalu."

Sebelumnya, dalam konferensi pers di Gedung Putih, Biden juga disebut akan segera menghubungi Raja Salman langsung melalui telepon dan bukan MBS. Pengumuman itu disampaikan seiring pengumuman komunikasi Biden dengan Israel.

Halaman 2>>

Torbjorn Soltvedt menjelaskan perlakuan Biden ke MBS sebenarnya berdasar. Apalagi selama kampanye Pemilu Presiden AS 2020, Biden memang menunjukkan ketidaksukaan pada tindak tanduk Arab Saudi di bawah MBS.

Pertama, Biden menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Perang itu telah menciptakan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk akibat ulah manusia di dunia.

Hal ini kemudian membuat Biden menghentikan sementara penjualan senjata AS ke Arab Saudi. Saat Trump berkuasa, ini diizinkan meski ada catatan keberatan dari Parlemen AS.

Kementerian Luar Negeri Trump telah membuat kesepakatan US$ 290 miliar (Rp 4 triliun) dengan Arab Saudi. Secara rinci, salah satu jenis senjata yang dipesan adalah bom diameter kecil GBU-39/BI (SDB I), yang dikembangkan Boeing dan diproduksi satu dekade lalu.

Lalu, kasus pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khassogi yang dituding didalangi oleh MBS. Khashoggi yang berusia 59 tahun adalah kolumnis lama Washington Post dan dikenal sebagai orang yang kerap mengkritik kerajaan Arab Saudi.

Khashoggi meninggal karena dibunuh dan dimutilasi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018, saat pergi ke sana untuk mendapatkan dokumen untuk pernikahannya yang akan dilangsungkan. Namun sejak memasuki konsulat, Khashoggi tidak pernah muncul kembali.

Biden menilai telah menciderai nilai hak asasi manusia. Sementara Trump, dinilai permisif meski sejumlah persidangan dan pelapor PBB menyebutkan hubungan kematian sang jurnalis dengan MBS.

Alasan berikutnya adalah perang harga minyak. Kedua negara terlibat ketegangan di April 2019 saat Arab Saudi dan Rusia membuat harga minyak AS terpukul.

Arab Saudi, saat itu, tidak mau berhenti menggenjot ekspor minyak, menjadikannya sebagai negara eksportir minyak teratas. Ekspor mereka yang semula berlaku di April, lalu ditambah lagi untuk Mei.

Total tambahan sejak mereka mengumumkan rencana tersebut kini menjadi 3,6 juta barel sehari. Angka yang sangat signifikan mengingat kondisi pasar global saat ini dan turunnya harga minyak dunia.

"Dengan perang yang sedang berlangsung di Yaman, tindakan keras terhadap anggota terkemuka elit politik dan bisnis negara pada tahun 2017, pembunuhan Jamal Khashoggi pada tahun 2018, dan perang harga minyak tahun lalu, Biden memiliki cukup alasan dengan permasalahan itu," tulis Soltvedt.

Soltvedt menilai ini sebuah peringatan besar bagi Saudi sehingga Riyadh harus memulai manuver-manuver politik yang dapat mengubah situasi. Sebab, hubungan AS dan negeri pimpinan keluarga Al Saud itu akan diwarnai aksi "tidak terduga".

Hal senada juga dikatakan pengamat lain, seorang mantan pejabat pemerintahan Presiden Obama, di mana Biden menjadi wakil. "(Arab) Saudi dan Washington dalam posisi terburuk yang pernah mereka alami. Tapi itu ditutupi oleh Gedung Putih Trump," katanya.

Halaman 3>>>

Sayangnya belum ada komentar dari pemerintahan Arab Saudi. Meski begitu, seorang analis yang dekat dengan Istana Arab Saudi mengatakan langkah AS-Biden tak realistis.

"Mereka tidak bisa menyelesaikan apa pun jika mereka tidak berurusan dengan MBS," kata Shihabi seperti dikutip Politico.

Raja berfungsi, tapi dia sudah sangat tua. Ia dianggap sebagai ketua deewan, Tak terlibat dalam masalah sehari-hari.

"Akhirnya, mereka ingin berbicara langsung dengan MBS," katanya.

Raja Salman memerintah sejak 2015. Saat ini ia berusia 85 tahun.

Next Page
Alasan Biden
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular