Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan ritel di Indonesia belum kunjung membaik. Hingga bulan ini, sepertinya penjualan ritel masih tumbuh negatif alias terkontraksi.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang diukur dengan Indeks Penjualan Rill (IPR) pada Desember 2020 adalah 190,1. Dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM) memang naik 4,8%.
Namun perubahan secara bulanan agak kurang mencerminkan tren, karena diganggu oleh faktor musiman. Misalnya pada Desember tentu lebih baik ketimbang November karena ada momentum Hari Natal-Tahun Baru.
Oleh karena itu, biasanya yang lebih menggambarkan tren sehingga lebih konsisten adalah pertumbuhan tahunan (year-on-year/YoY). Nah, dalam hal ini penjualan ritel masih nyungsep dan belum kunjung bangkit.
Secara tahunan, penjualan ritel pada Desember 2020 tumbuh -19,2%. Lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang -16,3%.
Kali terakhir Indonesia membukukan pertumbuhan penjualan ritel yang positif pada November 2019. Artinya, kontraksi penjualan ritel sudah terjadi selama 13 bulan beruntun.
Halaman selanjutnya --> Kelesuan Penjualan Ritel Masih Berlanjut?
Apesnya, kemungkinan penderitaan itu masih berlanjut. BI memperkirakan penjualan ritel pada Januari 2021 masih negatif, hanya lebih landai di -16,3% YoY.
Apa yang membuat penjualan ritel tidak kunjung terangkat? Pasalnya, ekonomi Indonesia pada Januari 2021 menghadapi tantangan baru bernama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Dalam PPKM tahap I (11-25 Januari 2021), pusat perbelanjaan hanya boleh beroperasi hingga pukul 19:00 WIB. Kemudian diperlonggar dalam PPKM tahap II (26 Januari-8 Februari 2021) menjadi maksimal pukul 20:00.
Kemudian dalam PPKM tahap I dan II, restoran hanya boleh melayani pengunjung yang makan-minum di tempat maksimal 25% dari kapasitas. Kini dengan PPKM terbaru (yang diberi nama PPKM Mikro), kapasitas maksimal dinaikkan menjadi 50%.
Lalu ada soal kehadiran karyawan perkantoran. PPKM tahap I dan II mensyaratkan karyawan yang bekerja dari rumah (work from home) setidaknya 75%. Dalam PPKM Mikro, dikurangi menjadi 50%.
"Secara bulanan, IPR Januari 2021 diprakirakan menurun sebesar -1,8% sejalan dengan faktor musiman permintaan masyarakat yang menurun pasca-HBKN di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta faktor musim/cuaca dan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah," sebut keterangan tertulis BI.
Kemarin, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang juga dirilis BI menyebutkan hal serupa. IKK pada Januari 2021 tercatat 84,9. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 96,5.
IKK menggunkaan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka konsumen secara umum pesimistis dalam memandang perekonomian, baik saat ini maupun enam bulan yang akan datang.
"Pada Januari 2021, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah dari bulan sebelumnya, diindikasi karena diberlakukannya kebijakan PPKM di beberapa wilayah, khususnya Jawa dan Bali, yang berdampak pada kembali menurunnya aktivitas ekonomi dan terbatasnya penghasilan masyarakat. Keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini melemah disebabkan penurunan penghasilan rutin (gaji/upah/honor) maupun omset usaha, yang ditengarai akibat PPKM.
"Keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada Januari 2021 juga tercatat menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Sejalan dengan penurunan keyakinan terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama pada Januari 2021 juga mengalami penurunan, terutama pada jenis barang elektronik, furnitur, dan perabot rumah tangga," jelas laporan BI.
Perkembangan ini tentu harus menjadi pertimbangan pemerintah. Sudah terbukti bahwa PPKM membuat ekonomi terluka. Namun sejauh ini, mengorbankan ekonomi demi mengendalikan wabah masih jauh panggang dari api. Jangan sampai ekonomi dikorbankan sia-sia.
TIM RISET CNBC INDONESIA