
Mendag Blak-Blakan RI Terpaksa Impor 90% Kedelai

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan harga kedelai dalam beberapa waktu terakhir memang kian memberatkan pengrajin tahu dan tempe. Menteri Perdagangan M. Lutfi mengakui bahwa penanganan dalam komoditas tersebut bukanlah permasalahan yang mudah.
"Karena kacang kedelai ini adalah barang penting bagi makanan dan bagi ketersediaan gizi bangsa Indonesia tapi pada saat yang bersamaan lebih dari 90 persen kebutuhan kacang kedelai itu adalah barang impor," katanya dalam konferensi pers Outlook 2021 yang digelar virtual, Senin (11/1/2021).
Demi memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia memesan dari beberapa negara produsen, di antaranya ada Amerika Serikat, Argentina dan Brazil. Sayang, kondisi saat ini sedang mengalami kendala akibat cuaca yang tidak menentu.
"Yang pertama adalah gangguan cuaca El Nina di Latin Amerika yang menyebabkan basah di Brazil dan Argentina, yang kedua diperparah dengan Argentina yang mengalami kemogokan. Jadi kalau kemarin itu mogoknya di sektor distribusi sekarang ini mogoknya di pelabuhan. Jadi yang satu berhenti yang satu mulai. Yang satu mulai yang satu berhenti. jadi ini menjadi gangguan tersendiri dari Argentina sedangkan di Argentina itu dibawa pakai kapal melewati sungai dan keluar di Brazil untuk pengapalan," sebut Lutfi.
Akibat tidak menentunya cuaca, ada ketidakseimbangan antara permintaan yang ada dengan penawaran yang datang. Ketika penawaran dari negara produsen menurun, permintaan dari negara lain justru meningkat tajam. Negara dengan permintaan peningkatan paling tajam adalah China.
"Tahun 2019-2020 yang lalu itu, Cina mengalami yang disebut dengan swine flu atau flu Babi. Flu Babi ini menyerang ternak bagi mereka di mana seluruh ternak babi yang ada di China ini dimusnahkan. Jadi hari ini mereka memulai ternak babi itu lagi dengan jumlah sekitar 470 juta ekor yang tadinya feed-nya makanan yang tidak diatur hari ini makanannya diatur," kata M. Lutfi.
Akibat aturan baru tersebut, permintaan China terhadap kedelai naik hampir 2x lipat. Sebagian besar bukan untuk konsumsi masyarakat, namun hewan ternak babi.
"Jadi dari 15 juta biasanya permintaan di Cina, naik menjadi 28 juta permintaan. Ini menyebabkan harga yang tinggi. Tetapi kami pastikan bahwa stok untuk Indonesia dalam 3 sampai 4 bulan ke depan adalah cukup. Yang terjadi adalah kenaikan harga," katanya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terungkap! Penyebab RI Terus 'Mabuk' Impor Kedelai