Terungkap! Penyebab RI Terus 'Mabuk' Impor Kedelai

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
25 January 2021 17:15
Pekerja beraktivitas di Rumah Produksi Tahu di kawasan Jakarta, Senin (4/1/2021). Produksi tahu di lokasi ini kembali dilanjutkan setelah beberapa hari belakangan mogok akibat naiknya harga kedelai yang mencapai Rp9.200 per kilogram dari harga normal Rp72.00 per kilogram. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pekerja beraktivitas di Rumah Produksi Tahu di kawasan Jakarta, Senin (4/1/2021). Produksi tahu di lokasi ini kembali dilanjutkan setelah beberapa hari belakangan mogok akibat naiknya harga kedelai yang mencapai Rp9.200 per kilogram dari harga normal Rp72.00 per kilogram. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengakui bahwa produk kedelai produksi Indonesia sulit bersaing dengan produk kedelai impor Amerika Serikat dan Brazil. 

"Tidak mungkin petani kedelai Indonesia head to head dengan petani kedelai Amerika, Brasil pasti kalah. Harganya di sana Rp 5.000 sekian (per kg), kita kalau produksi di atas Rp 6.500 baru ada untungnya," kata SYL dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (25/1/2021).

Perbedaan harga produksi itu menjadikan petani Indonesia sulit bersaing karena keuntungannya pun tidak banyak. Selama ini untung kedelai lebih kecil dibanding komoditas lain.

"Untuk kedelai, 1 hektare lahan hanya bisa menghasilkan keuntungan Rp 1,5-2 juta, itu pun termasuk besar, kemudian jagung bisa menghasilkan untung 4-5 juta/hektare, sementara padi Rp 5-6 juta/hektare. Jadi dipaksa apapun mungkin nggak bisa," sebut SYL.

Dari sini bisa terlihat bagaimana wajar minat petani kecil untuk menanam kedelai begitu kecil. Demi meningkatkan minat tersebut tentu bisa, asalkan ada harga pokok penjualan (HPP).

"Pernah kedelai swasembada di Indonesia? pernah zaman Pak Harto dulu tapi HPP 6 kali lebih besar dari harga beras, kita petani tidak diapa pun mau tanam itu. Yang makan kedelai bukan orang Jawa saja tapi sampai Papua, kita bisa sepanjang harga dibuatkan HPP. Kita butuh HPP masuk lartas (larangan terbatas), kalau nggak sulit dengan kekuatan yang ada," paparnya.

Faktor lain yang membuat Indonesia kalah dari kedelai impor adalah adanya larangan produksi untuk Genetically Modified Organism (GMO), di antaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, sebagian besar produk impor yang masuk ke Indonesia masuk ke dalam klasifikasi itu. SYL mengakui itu juga menjadi salah satu penyebab.

"Yang diimpor kan GMO semua. Itu kan di Anda menteri untuk mengubahnya, kalau mau GMO ya GMO semua, dengan ketentuan tugas karantina penuh pengawasan, kita nggak boleh munafik, sementara kita nggak boleh produksi. Negara AS, Brasil lain-lain impor jagung, apalagi gandum baik gandum konsumsi, gandum untuk pakan, semua GMO. Kalau kita konsisten semua GMO nggak boleh masuk GMO atau kita sama-sama main," kata Ketua Komisi IV DPR RI Sudin dengan tegas.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi, melontarkan kritikan serupa. Seharusnya ada regulasi yang memudahkan dan tidak membuat sulit diri sendiri, termasuk dalam hal produksi kedelai.

"Kita ini nggak boleh transgenetik di sini, tapi kita beli barang transgenetik. Baik mana, beli yang goblok impor atau goblok produksi dalam negeri? Lebih baik goblok produksi dalam negeri. Kalau nggak boleh impor nggak apa apa," sebutnya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mendag Blak-Blakan RI Terpaksa Impor 90% Kedelai

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular