Ancaman-Gangguan 2021 Versi Hendropriyono: FPI Hingga Papua

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
05 January 2021 06:00
Benny Wenda (Screenshot Facebook @bennywenda)
Foto: Benny Wenda (Screenshot Facebook @bennywenda)

Poin ketiga, menurut doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada itu, berkaitan dengan separatisme di Papua Barat dan Papua. Saat ini ada dua gerakan di kedua wilayah itu, yaitu Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Pertama, NRFPB yang dideklarasikan di Abepura pada 2018 dengan Perdana Menteri Yoab Syatfie. Gerakan ini merupakan gerakan gerilya politik. Hendropriyono mempertanyakan mengapa kelompok itu, setelah ditangkap, dilepas aparat kepolisian dengan alasan secara fisik tidak berbahaya.

"Lho bagaimana ini? Perang kita sudah perang dunia maya, tidak ditangkap, padahal dia latihan militer di satu pulau, pulaunya saya juga lupa, terus black mail. Orang Papua diminta ibadah di gereja, begitu datang berduyun-duyun, diberi seragam, difoto, dibikin video, kirim ke luar. Itu permainannya. Itu tidak ditangkap, nggak ngerti saya kenapa," katanya.

Setelah di Abepura, NRFPB melakukan deklarasi di Inggris pada 1 Desember 2020. Perdana Menteri mereka adalah Edison Waromi. Merespons peristiwa itu, masyarakat internasional memberikan tanggapan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hendropriyono menyebut ada peran misionaris gerja asal Belanda.

Guru besar bidang filsafat intelijen ini juga menyebut ada fenomena FORA AKADEMIKA. Maksudnya adalah gerakan mendukung Papua merdeka sudah beralih ke universitas.

"Jadi masuklah tulisan-tulisan tesis, skripsi, disertasi dari mahasiswa orang luar yang ngambil dari situ. Jadi bukan hanya di Inggris, tapi Australia juga ada. Buku-bukunya siap semua, orang-orang yang mau diwawancara ada jadi nggak susah bikin survei. Apa yang diarahkan di situ? Bukannya separatisme tapi self determination. Self determination memang dicanangkan PBB pasca Perang Dunia II. Di situ dia masuk," katanya.

"Inilah gerilya politik yang dia main yang kita nih sampai sekarang masih terjebak pada fisik. Jadi kalau nggak ngamuk, nggak berontak, nggak nembak, berarti nggak apa-apa. Padahal dia bergerilya politik lebih berbahaya. Kalau dia sampai mendapat pengakuan, matilah kita. Begitu dia proklamasi, satu per satu negara barat mengakui. Ini makanya saya tulis di sini G, ini gerpol. Ini gangguan, bukan hanya hambatan," lanjut Hendropriyono.

Lebih lanjut, dia bilang kalau strategi pemerintah menghadapi isu ini biasa saja, maka level gangguan akan meningkat menjadi ancaman. Sebab, KKB pun kerap memancing aparat keamanan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tujuannya untuk apa? Tentu adalah mendukung gerilya politik Papua Barat.



"Itu makanya analisa kita tahun 2021 akan terjadi sinergisitas yang tadinya jauh antara yang main politik di luar, yaitu Papua Barat, dengan yang main gerilya di hutan, fisik, yaitu KKB. Nah dalam diskusi saya dengan kawan-kawan yang saya kebetulan saya kenal yang masih pada aktif di pemerintah, saya bilang KKB itu nggak betul. Nanti kita terpancing itu," kata Hendropriyono.

"Betul kan, pendeta mati, anaknya mati, keponakannya mati, siapa yang menembak? Kita. Kita atau bukan? Pokoknya dituduhnya kita sama yang luar negeri. Mereka punya bukti-bukti. Kalau kita bilang tidak ya terserah, tapi kan kita bukan soal benar atau tidak, soalnya image di sana sudah kita dan itulah yang dipakai lewat gerilya politik, lewat FORA AKADEMIKA," lanjutnya.

Eks Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan RI itu mencontohkan sinergi solid antara NRFPB dan KKB. Baru-baru ini, KKB membunuh tim medis yang hendak mengobati pasien Covid-19 hingga pekerja jalan Trans Papua. Tujuannya adalah memancing agar aparat keamanan RI marah dan melakukan pelanggaran HAM.

"Ini yang ada di Papua Barat dia sekarang markasnya di Inggris dipimpin Benny Wenda. Sedangkan yang di Papua itu markasnya di Kuala Kencana (pimpinan Sebby Sambom OPM). Kalau dia bersatu terus didukung oleh luar negeri selesai," ujar Hendropriyono.

"Tapi 2021 akan mengarah ke situ, mengarah kepada mereka bersatu untuk minta referendum. Itu arahnya ke situ. Tapi tidak akan terjadi di 2021 menurut saya kenapa? Konsolidasinya yang saya baca di Inggris itu baru Inggris, Belanda, Jerman, dia sudah main," lanjutnya.

Oleh karena itu, Hendropriyono menilai pemerintah mesti mencontoh Spanyol dan Kanada. Spanyol meminta PBB memasukkan organisasi Basque ke dalam daftar teroris. Pun Kanada yang meminta PBB memasukkan organisasi The Quebeqer ke dalam daftar yang sama.

"Begitu masuk list teroris, nggak ada yang bisa ceramah-ceramah di universitas. Kita mestinya ke situ. Jadi dua ini, Papua Barat dan Papua, taruh di situ, nggak malah kita bilang KKB," kata Hendropriyono.

"Saya nggak ngerti, karena bukan urusan kita, kita kan sudah rakyat biasa cuma saya membaca ini sebagai ramalan berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami. Kalau pintar, lebih pintar anak-anak ini yang lagi pegang kuasa. Cuma saya ingatkan ini bisa meningkat semuanya di 2021 jangan lengah," lanjut mantan menteri transmigrasi dan pemukiman perambah hutan itu.

(miq/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular