Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membawa luka yang sangat dalam. Luka yang belum akan sembuh tahun depan.
Well, 2020 memang sangat berat. Wajar kalau begitu banyak orang berharap 2020 segera berakhir. Tahun 2020 sangat pas digambarkan dengan petikan lirik The Scientist yang dipopulerkan grup band asal Inggris, Coldplay:
"Nobody said it was easy. But no one ever said it would be this hard..."
Tidak ada yang menyangka virus corona yang tidak kasat mata bisa membuat 'huru-hara' sebegini rupa. Berawal di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, kini virus corona telah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 25 Desember 2020 adalah 78.194.947 orang. Bertambah 655.041 orang (0,84%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien baru bertambah 644.914 orang per hari. Naik tajam dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 599.695 orang setiap harinya.
Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan yang mungkin adalah yang terbesar dalam seabad ini. Kali terakhir umat manusia berhadapan dengan penyakit menular dalam skala besar adalah saat pandemi flu Spanyol yang mewabah pada awal 1900-an.
Namun krisis kesehatan dan kemanusiaan ini dengan sangat cepat bertransformasi menjadi krisis sosial-ekonomi. Sebab, berbagai negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam laju penyebaran virus. Kontak dan interaksi antar-manusia dibatasi, dibuat berjarak, tidak boleh ada kerumunan dalam bentuk apapun. Jargon #dirumahaja atau #stayathome menjadi tema utama tahun ini.
Aktivitas dan mobilitas miliaran warga dunia menjadi terbatas. Ini sama saja dengan menghentikan roda perekonomian. Ekonomi dunia mampet, 'mati suri'. Hasilnya, ekonomi dunia masuk ke jurang resesi untuk kali pertama sejak krisis keuangan 2009.
Kewajiban untuk mematuhi social distancing telah membuat ekonomi dunia terpukul di dua sisi sekaligus, pasokan dan permintaan. Pasokan terhambat karena dunia usaha wajib mematuhi social distancing, kapasitas produksi masih jauh di bawah normal. Sementara permintaan terpukul karena kalau #dirumahaja memang bisa apa? Tidak bisa nge-mal, nonton bioskop, karaoke, ngopi-ngopi cantik, dan sebagainya.
Kapasitas produksi yang di bawah normal dan permintaan yang anjlok membuat dunia usaha pusing tujuh keliling. Biaya jalan terus, sementara pemasukan berkurang drastis bahkan ada yang hilang sama sekali.
Akibatnya, mau tidak mau harus ada penyesuaian. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun jadi pilihan. Angka pengangguran dan kemiskinan yang berhasil ditekan dalam satu dekade terakhir kembali melonjak. Kerja keras bertahun-tahun hilang dalam hitungan bulan.
Memang betul, 2021 membawa harapan. Berbagai institusi memperkirakan ekonomi 2021 akan bangkit, resesi tidak terjadi lagi.
Akan tetapi, pertumbuhan itu lebih banyak disebabkan oleh basis 2020 yang rendah. Dengan basis yang rendah (bahkan minus), pertumbuhan yang minimalis sekalipun akan menjadi signifikan. Dalam istilah statistik, ini disebut low base effect.
Seiring pembukaan aktivitas ekonomi secara bertahap (reopening) dan vaksinasi, lapangan kerja akan kembali tercipta. Namun karena angka pengangguran sudah terlanjur tinggi, maka butuh waktu untuk mengembalikannya serendah sebelum masa pandemi.
Di Amerika Serikat (AS), bank sentral The Federal Reserve/The Fed memperkirakan angka pengangguran pada akhir 2020 berada di 6,7% dan tahun depan bisa turun ke 5%. Turun sih, tetapi masih jauh dibandingkan 3,5% sebelum virus corona menggila.
Oleh karena itu, butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kejayaan ekonomi dunia. Jangan harap tahun depan semua akan kembali indah seperti dulu.
 Sumber: FOMC |
Reuters melakukan jajak pendapat di sejumlah negara untuk mengetahui proyeksi pasar mengenai seberapa cepat ekonomi bisa pulih. Di Jepang, pemulihan ekonomi untuk mencapai level pra-pandemi butuh hitungan tahun.
Dari 40 ekonom/analis yang berpartisipasi, hanya enam orang (15%) yang memperkirakan ekonomi bisa sesehat pra-pandemi pada April 2021. Kemudian 15 orang (37,5%) 'meramal' pemulihan ekonomi terjadi pada 2022. Sementara 19 orang (47,5%) memperkirakan pemulihan secara utuh baru terjadi pada 2023 atau bisa lebih lama lagi.
"Kecepatan pemulihan ekonomi Jepang lebih lambat dibandingkan negara-negara maju lainnya karena potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah. Konsumsi masyarakat dan duni usaha di Jepang terus dalam tren penurunan, sehingga pemulihan ekonomi menjadi lambat," kata Hiroaki Mutou, Ekonom Sumitomo Life Insurance Company, sebagaimana diwartakan Reuters.
Nasib Inggris tidak lebih baik. Survei Reuters menyebutkan, 18 dari 26 orang responden (69,23%) memberi perkiraan ekonomi baru bisa pulih setidaknya dua tahun lagi. Kemudian tujuh responden (26,92%) memperkirakan pemulihan bisa terjadi dalam dua tahun atau kurang, dan hanya satu responden (3,85%) memperkirakan ekonomi bisa bangkit hanya dalam setahun.
 Sumber: Reuters |
Apalagi Inggris sedang dihantam virus corona jenis baru yang disebut-sebut 70% lebih menular ketimbang sebelumnya. Perkembangan ini membuat pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson memperketat social distancing. Sepertinya masa depan Negeri John Bull masih suram.
"Meski vaksinasi di Inggris adalah yang pertama di dunia, tetapi berbagai pembatasan masih tetap berlaku. Belum lagi pengusaha dan rumah tangga harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan baru Inggris-Uni Eropa," sebut Stefan Koopman, Ekonom Rabobank, sebagaimana diwartakan Reuters.
Untuk Uni Eropa, situasinya diperkirakan lebih baik. Pelaku pasar memperkirakan kinerja ekonomi Benua Biru sudah bisa kembali ke era pra-pandemi pada awal 2022. Sebanyak 36 dari 45 responden (80%) memperkirakan ekonomi bakal pulih dalam dua tahun.
 Sumber: Reuters |
"Kami mengasumsikan vaksinasi akan mulai taun depan dan berbagai pembatasan akan dilonggarkan pada kuartal II-2021. Hasilnya, Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan tumbuh sekitar 5% pada 2021 dan pada awal 2022 ekonomi bisa kembali ke masa pra-pandemi," tegas Andrew Cunningham, Kepala Ekonom Capital Economics untuk wilayah Eropa, seperti diberitakan Reuters.
Namun yang paling maju sepertinya AS. Jajak pendapat Reuters memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam bisa menyentuh level pra-pandemi hanya dalam waktu setahun.
 Sumber: Reuters |
"Dalam jangka pendek (1-3 bulan), kami memperkirakan AS akan mengalami lonjakan kasus corona sehingga social distancing akan kembali diketatkan. Namun dengan risiko politik yang mereda dan vaksinasi massal, proyeksi untuk jangka menengah (3-6 bulan) akan lebih positif," sebut James Knightly, Kepala Ekonom ING, seperti dikutip dari Reuters.
Kesimpulannya, tidak ada yang memperkirakan 2021 bakal indah seperti dulu. Dalam istilah Jawa, 2020 sudah kebacut, sudah terlanjur hancur lebur. Butuh waktu untuk membangun agar bisa sekuat dulu, dan itu tidak akan selesai pada 2021.
Minimal 2022 mungkin kita akan melihat kondisi mulai membaik seperti masa sebelum pandemi. Penantian masih belum selesai, minimal setahun lagi lah...
TIM RISET CNBC INDONESIA