
Rekam Jejak Sinovac yang Vaksinnya Datang ke RI, Ada Skandal

Meski merupakan sebuah perusahaan terbuka dan mengembangkan vaksin Covid-19, kinerja sahamnya tidak sementereng pengembang vaksin Covid-19 yang terbang tinggi.Ini disebabkan karena pihak Nasdaq menghentikan perdagangan saham Sinovac. Artinya banyak investor yang tak bisa membeli saham farmasi ini.
Nasdaq menghentikan perdagangan saham dengan kode emiten SVA ini lebih dari setahun lalu tepatnya sejak 22 Februari 2019. Pada perdagangan terakhir saham Sinovac dihargai di US$ 6,47/unit.
Penghentian perdagangan saham Sinovac oleh otoritas bursa Nasdaq bukan tanpa alasan. Ini ada kaitannya dengan kasus hukum yang menjerat Sinovac dengan para investor dan pemegang sahamnya. Salah satunya adalah 1Globe Capital.
1Globe Capital merupakan salah satu perusahaan investasi berbentuk family office yang berkedudukan di Delaware, Boston, AS. Sebagai informasi, family office adalah salah satu bentuk perusahaan yang mengurusi investasi, manajemen aset, perpajakan hingga akunting para crazy rich atau keluarga high net worth individual (HNWI).
Perusahaan ini dimiliki oleh warga China yang tinggal di AS bernama Li. Dalam aktivitas sehari-harinya 1Globe Capital melakukan perdagangan dengan membeli dan menjual aset-aset ekuitas di pasar saham AS.
Berdasarkan dokumen Securities Exchange Comission (SEC) semacam badan pengawas pasar modal AS yang diperoleh CNBC Indonesia, semua berawal dari pembelian saham Sinovac oleh 1Globe pada tahun 2016.
Baik 1Globe Capital, Li maupun afiliasinya yang berkedudukan di Kanada maupun Beijing terus melakukan pembelian saham Sinovac dari yang awalnya hanya 10% menjadi lebih dari 20% dari total saham Sinovac dan menjadi beneficiary owner perusahaan biotek China itu.
Pada Februari 2016 Sinovac mendapatkan sebuah proposal dari konsorsium yang dipimpin oleh sang CEO untuk membuat Sinovac menjadi perusahaan non-publik (Grup A). Namun tak lama berselang Sinovac juga mendapatkan proposal dari konsorsium lain (Grup B).
Apabila disetujui oleh dewan direksi Sinovac, salah satu rencana tersebut membutuhkan ratifikasi dari setidaknya dua pertiga (yaitu, 66,67%) suara pemegang saham perusahaan. Kemudian Sinovac membentuk komite khusus untuk mengevaluasi proposal pesaing tersebut.
Setelah melalu diskusi yang panjang, komite khusus tersebut akhirnya menolak proposal yang diajukan oleh Grup B. Untuk menghindari aksi akuisisi paksa (hostile takeover), Sinovac akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi korporasi lain berupa rights plan atau dalam istilah keuangannya adalah poison pill (pil racun).
Dalam aksi korporasi ini Sinovac menetapkan batasan 15% kepemilikan yang diidentifikasi sebagai pihak yang bakal mengakuisisi. Dalam sebuah dokumen perusahaan, Sinovac menerbitkan sejumlah saham yang akan dijual ke pihak yang berstatus non-akuisisi untuk mendilusi saham pihak lain yang akan menjadi calon pengakuisisi.
Melansir Bloomberg, Sinovac menerbitkan 28 juta saham baru setelahnya. Meski cara ini terbukti efektif untuk menghindari akuisisi paksa tetapi dampak aksi korporasi ini dinilai buruk karena berdampak negatif terhadap valuasi perusahaan dan membuat pasar menjadi tidak efisien.
Namun 1Globe Capital lewat afiliasinya yaitu pihak yang disebut sebagai managing director di Kanada maupun afiliasi lainnya di Beijing lewat akun brokernya terus menambah kepemilikan di saham Sinovac.
Transaksi tersebut dibiayai oleh Li dan 1Globe Capital hingga kepemilikan total sahamnya mencapai sepertiga dari total saham outstanding.
Saat Sinovac melakukan RUPS untuk memilih kembali jajaran direksinya. Salah satu afiliasi 1Globe Capital menjadi kandidat kuat. Melihat hal tersebut, Sinovac merasa bahwa proses tersebut tidaklah sah.
(twg/sef)