
Bunga Turun tapi Kredit Masih Lambat, Kapan Ekonomi Bangkit?

Suku bunga kredit yang belum turun drastis dan masih dinilai terlalu tinggi oleh masyarakat membuat permintaan kredit melambat signifikan. Anjloknya konsumsi masyarakat dan korporasi yang menahan diri untuk ekspansi menjadi alasan utama mengapa kredit hanya tumbuh 1% (yoy) per Agustus 2020.
Di tengah kondisi pandemi, pendapatan masyarakat terutama untuk kalangan menengah ke bawah cenderung turun. Masyarakat pun memilih untuk merealokasikan anggaran belanja mereka ke barang-barang yang esensial terutama kebutuhan pokok dan kesehatan.
Untuk sementara waktu masyarakat mengesampingkan pembelian barang-barang non-esensial. Itulah mengapa penjualan ritel seperti barang-barang fesyen masih terkontraksi. Penjualan barang tahan lama seperti kendaraan roda dua dan roda empat yang menggunakan kredit pun masih terkontraksi lebih dari 30% (yoy).
Hal yang sama juga dijumpai di sektor properti. Penjualan rumah yang mayoritas konsumennya menggunakan kredit KPR juga mengalami penurunan dibandingkan periode tahun lalu. Inilah yang menyebabkan permintaan kredit masih lemah dari sisi permintaan baik di kalangan konsumen maupun korporasi.
Masyarakat cenderung lebih banyak menabung uangnya, meskipun pemerintah melalui kebijakan ekspansifnya telah menganggarkan paket bantuan sosial senilai Rp 203,9 triliun atau 1,3% PDB. Kecenderungan masyarakat untuk menabung tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan hingga 11,61% (yoy) per Agustus.
Dari sisi pasokan perbankan jelas akan lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya per jenis maupun per sektor berdasarkan risiko yang bisa dikelolanya meskipun ada credit guidance dari otoritas terkait dan pemerintah.
Perlambatan permintaan kredit ini dikhawatirkan bakal memicu fenomena credit crunch yang dampaknya buruk untuk perekonomian. Fenomena ini dicirikan dengan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit karena demand masih lemah.
Padahal dari sisi kondisi keuangan perbankan Tanah Air, likuiditas sebenarnya mencukupi. Likuiditas bank yang longgar terlihat dari rasio loan to deposit (LDR) yang terus menurun dari 93,4% di awal tahun menjadi 85,4% pada Agustus lalu.
Selain itu likuiditas perbankan juga didongkrak dengan penitipan dana pemerintah sebesar puluhan triliun yang diambil dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) ke sejumlah bank negara (Himbara) dengan bunga 80% dari suku bunga acuan.
Sebagai otoritas moneter nasional, BI juga terus berupaya untuk menjaga kondisi likuiditas perbankan dengan melakukan injeksi yang nilainya sebesar Rp 667,6 triliun per 1 Oktober. Sebanyak Rp 155 triliun dari penurunan giro wajib minimum (GWM) dan Rp 496,8 triliun sisanya melalui kebijakan ekspansi moneternya.
Sangat disayangkan apabila likuiditas yang ample ini hanya nganggur di perbankan saja dan tak segera disalurkan menjadi kredit yang produktif sehingga bisa menurunkan efektivitas kebijakan.
Namun mau bagaimana lagi jika permintaan tetap saja lemah lantaran pandemi Covid-19 yang masih terus merebak dan membuat mobilitas publik tetap tertekan. Padahal mobilitas menjadi kunci utama bergulirnya perekonomian.
Dari aspek kemudahan akses kredit perbankan, responden dalam survei BI menilai akses kredit perbankan pada triwulan III-2020 cenderung membaik.
(twg/twg)