Bunga Turun tapi Kredit Masih Lambat, Kapan Ekonomi Bangkit?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 November 2020 17:55
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun 2020, Bank Indonesia  (BI) selaku otoritas moneter nasional telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak lima kali untuk membantu perekonomian agar cepat pulih dari resesi akibat pandemi Covid-19.

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 November kemarin memutuskan untuk memangkas BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Suku bunga koridor lending facility & deposit facility juga turun menjadi 4,5% dan 3%. 

Penurunan suku bunga acuan ini diharapkan bakal ditransmisikan ke penurunan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB), suku bunga deposito dan baru ke suku bunga kredit.

Turunnya suku bunga deposito dan kredit akan memicu konsumen dan korporasi untuk meminjam uang dari bank dan berbelanja hingga melakukan investasi. Hal ini akan menggenjot perekonomian.

Namun transmisi kebijakan moneter ini membutuhkan waktu (time lag), sehingga penurunan suku bunga acuan tak langsung direspons oleh perbankan. Lantas sudah seberapa agresif industri perbankan RI memangkas suku bunga kreditnya agar pemilihan ekonomi segera terwujud?

Per Agustus 2020, saat suku bunga acuan baru dipangkas 100 bps suku bunga kredit konsumsi (KK) baru turun 49 bps, kredit modal kerja (KMK) turun 65 bps dan kredit investasi (KI) turun 74 bps.

Selain ada time lag, penurunan suku bunga yang masih belum agresif sebenarnya mencerminkan risiko. Peningkatan rasio kredit macet (NPL) terjadi sejak April membuat bank lebih ketat dalam menyalurkan kreditnya. 

Bahkan dengan kebijakan OJK untuk relaksasi dan restrukturisasi kredit, rasio NPL bank umum meningkat 45 bps dari 2,77% pada Maret menjadi 3,22% pada Agustus kemarin. 

Dalam laporan Survei Perbankan Indonesia kuartal III, suku bunga kredit perbankan pada kuartal keempat masih akan turun. Apalagi setelah BI menurunkan suku bunga acuannya untuk yang kelima kali bulan ini.

"Aspek kebijakan penyaluran yang paling longgar pada triwulan IV-2020 adalah suku bunga, sementara aspek kebijakan lainnya diprakirakan akan lebih ketat pada kuartal keempat IV-2020" tulis BI dalam laporannya. 

Suku bunga kredit yang belum turun drastis dan masih dinilai terlalu tinggi oleh masyarakat membuat permintaan kredit melambat signifikan. Anjloknya konsumsi masyarakat dan korporasi yang menahan diri untuk ekspansi menjadi alasan utama mengapa kredit hanya tumbuh 1% (yoy) per Agustus 2020.

Di tengah kondisi pandemi, pendapatan masyarakat terutama untuk kalangan menengah ke bawah cenderung turun. Masyarakat pun memilih untuk merealokasikan anggaran belanja mereka ke barang-barang yang esensial terutama kebutuhan pokok dan kesehatan.

Untuk sementara waktu masyarakat mengesampingkan pembelian barang-barang non-esensial. Itulah mengapa penjualan ritel seperti barang-barang fesyen masih terkontraksi. Penjualan barang tahan lama seperti kendaraan roda dua dan roda empat yang menggunakan kredit pun masih terkontraksi lebih dari 30% (yoy).

Hal yang sama juga dijumpai di sektor properti. Penjualan rumah yang mayoritas konsumennya menggunakan kredit KPR juga mengalami penurunan dibandingkan periode tahun lalu. Inilah yang menyebabkan permintaan kredit masih lemah dari sisi permintaan baik di kalangan konsumen maupun korporasi. 

Masyarakat cenderung lebih banyak menabung uangnya, meskipun pemerintah melalui kebijakan ekspansifnya telah menganggarkan paket bantuan sosial senilai Rp 203,9 triliun atau 1,3% PDB. Kecenderungan masyarakat untuk menabung tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan hingga 11,61% (yoy) per Agustus.

Dari sisi pasokan perbankan jelas akan lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya per jenis maupun per sektor berdasarkan risiko yang bisa dikelolanya meskipun ada credit guidance dari otoritas terkait dan pemerintah. 

Perlambatan permintaan kredit ini dikhawatirkan bakal memicu fenomena credit crunch yang dampaknya buruk untuk perekonomian. Fenomena ini dicirikan dengan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit karena demand masih lemah.

Padahal dari sisi kondisi keuangan perbankan Tanah Air, likuiditas sebenarnya mencukupi. Likuiditas bank yang longgar terlihat dari rasio loan to deposit (LDR) yang terus menurun dari 93,4% di awal tahun menjadi 85,4% pada Agustus lalu. 

Selain itu likuiditas perbankan juga didongkrak dengan penitipan dana pemerintah sebesar puluhan triliun yang diambil dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) ke sejumlah bank negara (Himbara) dengan bunga 80% dari suku bunga acuan.

Sebagai otoritas moneter nasional, BI juga terus berupaya untuk menjaga kondisi likuiditas perbankan dengan melakukan injeksi yang nilainya sebesar Rp 667,6 triliun per 1 Oktober. Sebanyak Rp 155 triliun dari penurunan giro wajib minimum (GWM) dan Rp 496,8 triliun sisanya melalui kebijakan ekspansi moneternya. 

Sangat disayangkan apabila likuiditas yang ample ini hanya nganggur di perbankan saja dan tak segera disalurkan menjadi kredit yang produktif sehingga bisa menurunkan efektivitas kebijakan. 

Namun mau bagaimana lagi jika permintaan tetap saja lemah lantaran pandemi Covid-19 yang masih terus merebak dan membuat mobilitas publik tetap tertekan. Padahal mobilitas menjadi kunci utama bergulirnya perekonomian.

Dari aspek kemudahan akses kredit perbankan, responden dalam survei BI menilai akses kredit perbankan pada triwulan III-2020 cenderung membaik.

Risiko ketidakpastian masih tinggi. Namun kabar baik dari pengembangan vaksin turut mendongkrak optimisme pelaku ekonomi bahwa kondisi yang terburuk sudah berhasil dilewati. 

Dalam dua pekan terakhir, beberapa pengembang vaksin global yaitu Pfizer, BioNTech dan Moderna mengklaim kandidat vaksin buatannya memiliki tingkat keampuhan lebih dari 90%.

Terlepas dari banyaknya pro-kontra dan informasi yang belum komprehensif terkait kandidat vaksin yang mereka kembangkan, RI terus berupaya untuk mengamankan sejumlah dosis vaksin dari Sinovac maupun AstraZeneca yang juga menjadi kandidat yang diunggulkan. 

Apabila mengacu pada hasil survei BI, perbaikan kinerja di sektor dunia usaha sudah mulai terlihat di kuartal ketiga dan diperkirakan bakal berlanjut ke kuartal keempat. 

Responden yang menjawab bahwa akses kredit selama 3 bulan terakhir lebih mudah tercatat sebesar 6,44% lebih tinggi dari sebelumnya sebesar 4,70%. Adapun responden yang menjawab akses kredit lebih sulit terlihat menurun menjadi 12,40% dari triwulan sebelumnya sebesar 13,86%.

Dalam survei perbankan BI pada kuartal ketiga rata-rata responden memprakirakan pertumbuhan kredit secara keseluruhan tahun 2020 sebesar 2,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan kredit 2019 sebesar 6,1% (yoy). Namun lebih baik dari kuartal ketiga. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular