
Sedih, Ekonomi RI Masih Mati Suri...

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2020 mencatatkan rekor tertinggi sejak 2010. Namun sepertinya ini bukan sesuatu yang perlu dirayakan berlebihan, malah kudu dijadikan renungan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Oktober 2020 sebesar US$ 14,39 miliar, turun 3,29% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Sementara impor tercatat US$ 10,78 miliar, anjlok 26,93% YoY.
Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 3,61 miliar. Catatan tertinggi sejak Desember 2010.
Di satu sisi, data ini melegakan karena kinerja ekspor lebih baik dari perkiraan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 4,5% YoY, sementara konsensus versi Reuters punya proyeksi -4,36%.
Ekspor dari beberapa sektor juga sudah tumbuh positif. Pada Oktober 2020, ekspor produk pertanian tercatat US$ 0,42 milar, melonjak 23,8% YoY. Kemudian ekspor industri barang industri pengolahan naik 3,86% YoY ke US$ 11,79 miliar.
"Dari bulan ke bulan, ekspor menunjukkan peningkatan. Ada tren yang membaik," ujar Setianto, Deputi Statistik Distibusi dan Jasa BPS, dalam jumpa pers hari ini.
Surplus neraca perdagangan juga kian meyakinkan bahwa pasokan devisa dari ekspor-impor aman terkendali. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan alias current account bisa membukukan surplus pada kuartal III-2020, yang datanya akan diumumkan akhir pekan ini. Jika terwujud, maka akan menjadi surplus pertama sejak 2011.
Bahkan andai neraca perdagangan terus surplus, maka bukan tidak mungkin surplus transaksi berjalan bisa terjaga hingga kuartal IV-2020. Transaksi berjalan adalah fondasi penting untuk stabilitas nilai tukar rupiah, karena mencerminkan pasokan valas dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berdimensi jangka panjang ketimbang investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).
Neraca perdagangan Indonesia tidak pernah defisit sejak April 2020. Sejak awal April hingga akhir pekan lalu, rupiah menguat tajam hampir 14% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, bukan berarti semua baik-baik saja, indah-indah saja. Perlu diperhatikan bahwa impor Indonesia ambles sangat dalam.
Bukannya impor turun itu bagus ya? Tidak semudah itu, kawan...
Masalahnya, sebagian besar impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang digunakan untuk proses produksi di dalam negeri. Jadi kalau impor turun dalam, maka itu jadi pertanda bahwa industri dalam negeri sedang mati suri.
Pada Oktober 2020, nilai impor bahan baku/penolong adalah US$ 7,9% atau turun 27,4% YoY. Lebih dalam dibandingkan September 2020 yang -18,96% YoY.
Kemudian nilai impor barang modal pada Oktober 2020 adalah US$ 1,85 miliar. Turun 24,24% YoY, lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang turun 17,72% YoY.
Data ini memberi konfirmasi bahwa industri dalam negeri memang sedang 'mati suri'. Sebelumnya sudah ada yang menggambarkan bahwa industri manufaktur Tanah Air memang masih dalam fase kontraksi.
IHS Markit mengumumkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Oktober 2020 sebesar 47,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,2, tetapi masih di bawah 50. Artinya, industriawan nasional belum melakukan ekspansi.
"Volume produksi mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut pada Oktober, meskipun tingkat penurunan mulai berkurang mencapai laju lebih lambat. Sama halnya dengan output, arus masuk pesanan baru menurun pada laju lebih lambat. Sementara itu, permintaan eksternal terus melemah pada laju substansial. Para responden menekankan bahwa dampak dari pandemi terus memperburuk kondisi permintaan secara keseluruhan.
"Dengan melemahnya penjualan, perusahaan menyoroti kapasitas berlebih yang terlihat dari penumpukan pekerjaan yang terus menurun. Untuk mengendalikan biaya agar perusahaan tetap dapat bertahan, perusahaan terus mengurangi jumlah karyawan. Perusahaan juga mengurangi harga jual," papar laporan IHS Markit.
Oleh karena itu, sampai Oktober belum ada tanda-tanda ekonomi Indonesia bisa bangkit secara stabil. Memang ada riak-riak pemulihan, tetapi sifatnya sporadis. Secara umum, ekonomi Indonesia masih 'sakit'.
Ini membawa pertanyaan, apakah Indonesia sudah bisa lepas dari resesi pada kuartal IV-2020? Well, kalau kondisinya seperti ini terus, di mana industri masih 'tiarap' dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belum selesai, maka sepertinya resesi belum akan pergi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ada Feeling Kebangkitan Ekonomi Indonesia Mulai Terasa
