"Hantu" CAD Bakal Pergi, Rupiah Bisa ke Bawah Rp 14.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 November 2020 08:52
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sukses membukukan penguatan 6 pekan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 14.150/US$ minggu lalu.

Bahkan sempat menembus ke bawah level Rp 14.000/US$ dan berada di level terkuat dalam 5 bulan terakhir.

Kemenangan Joseph 'Joe' Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), serta vaksin dari Pfizer yang diklaim ampuh menangkal virus corona lebih dari 90% membuat sentimen pelaku pasar membaik dan mengalirkan investasinya ke negara-negara emerging market, seperti Indonesia.

Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.

Sementara data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan 2 pekan lalu, investor asing melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 1,2 triliun. Sepanjang pekan lalu bahkan lebih besar lagi, Rp 4,45 triliun masuk ke pasar saham dalam negeri. 

Alhasil, rupiah menjadi perkasa, dan masih berpotensi melanjutkan penguatan di pekan ini, bahkan bisa kembali ke bawah Rp 14.000/US$. Sebab, pada Jumat (20/11/2020) nanti akan dirilis data transaksi berjalan yang menunjukkan surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.

Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi 'hantu' bagi perekonomian Indonesia.

Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, rupiah berpotensi semakin perkasa.

Kabar bagus lainnya datang dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor asing mulai "memborong" rupiah lagi.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali dicintai.

Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.

Pada Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi di pekan ini.

Dengan posisi long yang mencapai level tertinggi 6 tahun, rupiah tentunya berpeluang menguat lagi ke depannya.



Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR kini bergerak jauh di bawah Kemudian rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200), sehingga memberikan momentum penguatan.

Sementara itu, indikator stochastic pada grafik harian yang berada di wilayah jenuh jual (oversold).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Artinya ada risiko rupiah akan terkoreksi akibat aksi ambil untung (profit taking), dengan resisten berada di kisaran Rp 14.150/US$, dimana rupiah persis berada di level tersebut.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv 

Jika tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah lebih jauh ke Rp 14.190/US$, sebelum menuju Rp 14.235/US$.

Untuk sepekan ini, resisten kuat berada di level Rp 14.360/US$, jika ditembus, Mata Uang Garuda berisiko melemah lebih jauh.

Sementara itu jika kembali ke bawah Rp 14.150/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.100 hingga 14.080/US$.

Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang menuju Rp 14.050/US$ hingga level "angker" Rp 14.000/US$.

Penembusan konsisten di bawah Rp 14.000/US$ akan membuka peluang penguatan ke Rp 13.810/US$ di pekan ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular