RUU Larangan Minol

Bir Sampai Wine Bakal Dilarang di RI, Ini Lho Dampaknya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
13 November 2020 17:35
Dok Delta Djakarta/Detik
Foto: Dok Delta Djakarta/Detik

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan, belakangan ada satu rancangan aturan perundang-undangan yang membuat geger masyarakat Indonesia. Adalah Rancangan Undang - Undang (RUU) larangan minuman beralkohol yang sudah digagas DPR dan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024.

RUU itu bakal melarang produksi, peredaran, dan konsumsi semua jenis minuman beralkohol baik yang kadarnya rendah seperti bir hingga wine. Sebuah dokumen yang merujuk pada RUU tersebut beredar di dunia maya dan berisi tujuh bab dengan 24 pasal.

Pasal 5-7 berisi tentang larangan. Sementara pasal ke 8 merupakan pengecualian. Ya, meski dilarang tetapi ada juga pengecualian untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi hingga lokasi tertentu seperti hotel hingga klub yang tentunya harus memiliki izin dari pemerintah. 

Untuk sebagian orang yang kontra, RUU ini dianggap sebagai salah satu bentuk upaya pemangku kebijakan untuk masuk ke ranah privasi masyarakat.

Sementara bagi yang pro, rancangan aturan ini dianggap sebagai bentuk koridor hukum agar ketertiban dan tatanan sosial tetap terjaga karena perilaku minum minuman beralkohol dinilai hanya membawa mudharat (kerugian) bagi banyak pihak.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2010 konsumsi per kapita minuman beralkohol masyarakat Indonesia pada 2010 tercatat sebanyak 0,7 liter per tahun. Angka tersebut naik menjadi 0,8 liter pada 2016. 

Masyarakat RI berjenis kelamin laki-laki lebih banyak mengonsumsi minuman beralkohol per kapita per tahun. Khusus untuk 'para peminum', laki-laki berusia di atas 15 tahun di Indonesia mengkonsumsi 4,5 liter per kapita per tahun pada 2016, sedangkan peminum perempuan hanya mengkonsumsi 1,5 liter per kapita per tahun. 

Tak bisa dipungkiri aktivitas mengkonsumsi minuman beralkohol ini turut memberikan sumbangsih bagi perekonomian. Adanya industri minuman beralkohol di Tanah Air juga berkontribusi kepada pendapatan negara lewat cukai dan pajak. 

Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta Oktober 2020, realisasi penerimaan cukai dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sepanjang sembilan bulan tahun 2020 tercatat mencapai Rp 3,61 triliun atau 50,79% dari target Rp 7,1 triliun yang ditetapkan melalui Perpres nomor 72 tahun 2020. 

Kabar soal pembahasan RUU larangan minuman beralkohol itu membuat duo emiten produsen dan distributor minuman beralkohol domestik yaitu PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) dan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) terperosok ke zona merah. 

Dalam laporan keuangan interim perusahaan MLBI yang menjual produk bir Heineken itu telah menyetorkan cukai senilai Rp 51,4 miliar per September 2020. Sementara kontribusinya terhadap setoran pajak penghasilan mencapai Rp 123 miliar. 

Kompetitornya yang juga melantai di bursa saham domestik yaitu DLTA yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta melaporkan jumlah pajak penghasilan perseroan mencapai Rp 49,7 miliar dan untuk PPN serta bea cukai mencapai Rp 347,3 miliar. 

Kebijakan tersebut pun membuat pelaku industri geleng-geleng. Oleh Presiden Komisaris DLTA Sarman Simanjorang, RUU ini dinilai sebagai salah satu bentuk ketidakpastian terhadap investasi. 

"Keberadaan investor dan industri di Indonesia itu usianya udah cukup panjang, Delta Jakarta hampir satu abad. Coba dibayangkan industri yang sudah memberi kontribusi positif, dari sisi pajak, cukai, pekerja tiba-tiba akan dibuat ketidakpastian ini menjadi iklim yang tidak kondusif di bidang investasi," kata Sarman kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/1).

Memang minuman beralkohol tidak dilarang sepenuhnya jika mengacu pada dokumen RUU tersebut. Bahkan beberapa lokasi masih diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol. 

Sebagai payung hukum, UU memang tidak mengatur secara detail suatu aturan dalam setiap pasalnya karena nanti akan dijabarkan dalam produk aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih banyak membahas pada tataran teknis. 

Namun satu hal yang perlu diperhatikan dengan lebih berhati-hati yaitu dampaknya ke industri. Sebab, jika minuman beralkohol dilarang dan membuat penjualan seret, maka pendapatan ke daerah maupun negara melalui cukai, pajak hingga dividen pun akan tergerus. 

Dilihat dari sisi cukai kontribusi MMEA terhadap cukai per tahunnya tembus angka Rp 7 triliun dalam tiga tahun terakhirnya. Sementara untuk pajak harus dilihat dari sisi pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Sementara dari sisi dividen, DLTA sendiri termasuk salah satu dari tiga penyumbang dividen terbesar bagi Pemerintah DKI setelah Bank DKI dan PD Pembangunan Sarana Jaya. Dalam empat tahun terakhir rata-rata setoran DLTA ke Pemerintah DKI Jakarta mencapai Rp 68,73 miliar.

Angka-angka di atas adalah jumlah yang terlihat saja dan belum memperhitungkan dampak lain kebijakan terhadap sektor ketenagakerjaan maupun dari sisi lain.

Lagipula jika tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol hingga mewujudkan ketertiban masyarakat, ada banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh para pemangku kebijakan tanpa harus membuat peraturan perundang-undangan yang sifatnya langsung restriktif.

Beberapa aturan yang sebenarnya bisa diterapkan di Tanah Air dan selama ini belum ada seperti penetapan aturan konsentrasi alkohol dalam darah legal maksimum saat mengendarai kendaraan untuk mengurangi kemungkinan kejadian insiden kecelakaan akibat mabuk di jalan raya yang bisa merenggut nyawa banyak orang.

Kemudian ada juga kebijakan pemberian label peringatan kesehatan yang diwajibkan secara hukum pada iklan maupun wadah minuman beralkohol seperti pada kasus iklan dan bungkus rokok.

Pasalnya sampai saat ini banyak wadah minuman beralkohol yang hanya mencantumkan larangan untuk ibu hamil dan kelompok berusia di bawah 21 tahun saja. Program yang terakhir juga yang sangat penting adalah program monitoring nasional yang ke depan bakal jadi acuan untuk pengambilan kebijakan lebih lanjut.

Jangan sampai ketika RUU ini sah menjadi UU tetapi pengawasannya lengah dan law enforcement-nya lemah justru membuat peredaran alkohol ilegal menjadi semakin marak. 

Bagaimanapun juga terlepas dari kegiatan adat atau keagamaan kelompok tertentu, aktivitas minum minuman beralkohol sudah menjadi gaya hidup dan kultur terutama untuk kaum urban perkotaan terutama. 

Dengan langsung melarang produksi, peredaran dan konsumsi minuman beralkohol tanpa mempertimbangkan aspek kultur ini tentu bakal menimbulkan konsekuensi penurunan efektivitas suatu kebijakan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular