
Bir Sampai Wine Bakal Dilarang di RI, Ini Lho Dampaknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan, belakangan ada satu rancangan aturan perundang-undangan yang membuat geger masyarakat Indonesia. Adalah Rancangan Undang - Undang (RUU) larangan minuman beralkohol yang sudah digagas DPR dan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024.
RUU itu bakal melarang produksi, peredaran, dan konsumsi semua jenis minuman beralkohol baik yang kadarnya rendah seperti bir hingga wine. Sebuah dokumen yang merujuk pada RUU tersebut beredar di dunia maya dan berisi tujuh bab dengan 24 pasal.
Pasal 5-7 berisi tentang larangan. Sementara pasal ke 8 merupakan pengecualian. Ya, meski dilarang tetapi ada juga pengecualian untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi hingga lokasi tertentu seperti hotel hingga klub yang tentunya harus memiliki izin dari pemerintah.
Untuk sebagian orang yang kontra, RUU ini dianggap sebagai salah satu bentuk upaya pemangku kebijakan untuk masuk ke ranah privasi masyarakat.
Sementara bagi yang pro, rancangan aturan ini dianggap sebagai bentuk koridor hukum agar ketertiban dan tatanan sosial tetap terjaga karena perilaku minum minuman beralkohol dinilai hanya membawa mudharat (kerugian) bagi banyak pihak.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2010 konsumsi per kapita minuman beralkohol masyarakat Indonesia pada 2010 tercatat sebanyak 0,7 liter per tahun. Angka tersebut naik menjadi 0,8 liter pada 2016.
Masyarakat RI berjenis kelamin laki-laki lebih banyak mengonsumsi minuman beralkohol per kapita per tahun. Khusus untuk 'para peminum', laki-laki berusia di atas 15 tahun di Indonesia mengkonsumsi 4,5 liter per kapita per tahun pada 2016, sedangkan peminum perempuan hanya mengkonsumsi 1,5 liter per kapita per tahun.
Tak bisa dipungkiri aktivitas mengkonsumsi minuman beralkohol ini turut memberikan sumbangsih bagi perekonomian. Adanya industri minuman beralkohol di Tanah Air juga berkontribusi kepada pendapatan negara lewat cukai dan pajak.
Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta Oktober 2020, realisasi penerimaan cukai dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sepanjang sembilan bulan tahun 2020 tercatat mencapai Rp 3,61 triliun atau 50,79% dari target Rp 7,1 triliun yang ditetapkan melalui Perpres nomor 72 tahun 2020.
Kabar soal pembahasan RUU larangan minuman beralkohol itu membuat duo emiten produsen dan distributor minuman beralkohol domestik yaitu PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) dan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) terperosok ke zona merah.
Dalam laporan keuangan interim perusahaan MLBI yang menjual produk bir Heineken itu telah menyetorkan cukai senilai Rp 51,4 miliar per September 2020. Sementara kontribusinya terhadap setoran pajak penghasilan mencapai Rp 123 miliar.
Kompetitornya yang juga melantai di bursa saham domestik yaitu DLTA yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta melaporkan jumlah pajak penghasilan perseroan mencapai Rp 49,7 miliar dan untuk PPN serta bea cukai mencapai Rp 347,3 miliar.
Kebijakan tersebut pun membuat pelaku industri geleng-geleng. Oleh Presiden Komisaris DLTA Sarman Simanjorang, RUU ini dinilai sebagai salah satu bentuk ketidakpastian terhadap investasi.
"Keberadaan investor dan industri di Indonesia itu usianya udah cukup panjang, Delta Jakarta hampir satu abad. Coba dibayangkan industri yang sudah memberi kontribusi positif, dari sisi pajak, cukai, pekerja tiba-tiba akan dibuat ketidakpastian ini menjadi iklim yang tidak kondusif di bidang investasi," kata Sarman kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/1).