
2024, Impor BBM RI Bakal Turun, Impor Minyak Mentah Melonjak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan rasio impor bahan bakar minyak (BBM) terhadap kebutuhan BBM di dalam negeri pada 2024 turun menjadi 29,69% dari 2020 sebesar 41,67%.
Pada 2024, impor BBM diperkirakan mencapai 24,28 juta kilo liter (kl) atau 29,69% dari total kebutuhan BBM domestik yang diestimasi mencapai 81,76 juta kl.
Jumlah impor tersebut menurun dari estimasi pada 2020 ini yang diperkirakan sebesar 31,83 juta kl atau 41,67% dari total kebutuhan BBM domestik sebesar 76,38 juta kl.
Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.16 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM tahun 2020-2024 yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 September 2020 dan berlaku sejak diundangkan pada 25 September 2020.
Penurunan rasio impor BBM ini disebutkan karena adanya peningkatan kapasitas kilang BBM dari proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) yang tengah dikerjakan PT Pertamina (Persero).
Selain itu, penurunan rasio impor BBM ini juga didukung kebijakan pemanfaatan biodiesel pada sektor transportasi, program kendaraan listrik, konversi BBM ke gas atau biofuel pada pembangkit listrik, konversi BBM ke LPG untuk bahan bakar kapal nelayan, serta pengurangan secara bertahap pembangkit listrik tenaga diesel.
Kondisi berbeda dilihat pada rasio impor minyak mentah terhadap kebutuhan minyak mentah domestik. Pada 2024 rasio impor minyak mentah diperkirakan naik sebesar 28,80% dari 2020 ini sebesar 19,79%.
Impor minyak mentah pada 2024 diperkirakan naik menjadi 109,99 juta barel dari 2020 sebesar 68,19 juta barel. Sementara kebutuhan minyak mentah pada 2024 diperkirakan melonjak menjadi 381,94 juta barel dari 344,52 juta barel pada 2020 ini.
Meningkatnya rasio impor minyak mentah ini dikarenakan produksi minyak mentah nasional yang relatif stagnan, sedang di sisi lain adanya penambahan proyek kilang BBM baru juga meningkatkan kebutuhan minyak mentah dalam negeri.
"Usaha yang dilakukan dengan peningkatan suplai minyak mentah domestik dan diversifikasi sumber minyak seperti penggunaan CPO dan lainnya," seperti dikutip dari Peraturan Menteri ESDM no.16 tahun 2020 tersebut.
Data impor BBM dan minyak mentah tersebut merupakan indikator yang digunakan dalam menghitung kemandirian sumber energi yang merupakan rasio suplai dari sumber energi lokal, termasuk energi yang bersumber dari produksi luar negeri terhadap impor dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Seperti diketahui, Pertamina tengah membangun proyek ekspansi kilang, baik Refinery Development Master Plan (RDMP) maupun kilang baru (New Grass Root Refinery). Pada 2024-2025 ditargetkan proyek RDMP Balikpapan fase 1 dan 2 sudah beroperasi dengan penambahan kapasitas 100 ribu bph menjadi 360 ribu bph dari saat ini 260 ribu bph. Lalu RDMP Balongan fase 1 dan 2 juga ditargetkan beroperasi dengan peningkatan kapasitas pengolahan minyak mentah menjadi 150 ribu bph dari saat ini 125 ribu bph.
Namun pada 2027 ditargetkan proyek RDMP lainnya dan juga kilang baru Tuban beroperasi, sehingga kapasitas pengolahan minyak mentah meningkat menjadi 1,8 juta bph dari saat ini 1 juta bph.
Proyek RDMP antara lain kilang Balikpapan, Dumai, Balongan, dan Cilacap, dan kilang baru di Tuban, serta proyek kilang hijau atau dikenal dengan nama biorefinery di kilang Plaju dan Cilacap.
Pertamina memperkirakan total investasi untuk proyek kilang ini mencapai US$ 48 miliar. Proyek ini ditujukan untuk menghasilkan produk BBM menjadi 1,5 juta bph dari 600 ribu bph saat ini, lalu produk petrokimia menjadi 8,6 juta ton per tahun dari saat ini sekitar 1,66 juta ton per tahun. Adapun BBM yang dihasilkan memiliki standar Euro V dari saat ini masih standar Euro II.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Ini yang Bikin Investor Ogah Investasi Proyek Kilang
