Bukan Main-Main Bila Cukai Rokok Naik Sampai 17% Tahun Depan

twg, CNBC Indonesia
23 October 2020 16:03
Ilustrasi Rokok.(CNBC Indonesia/Syahrizal Sidik)
Foto: Ilustrasi Rokok.(CNBC Indonesia/Syahrizal Sidik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada kabar pemerintah bakal menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 17% untuk 2021. Banyak pihak yang menyayangkan jika kebijakan tersebut diambil pemerintah di tengah lesunya industri dan daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19.

Keputusan pemerintah untuk menaikkan CHT pada dasarnya dilandasi oleh dua hal. Pertama untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia yang terus meningkat terutama untuk kalangan perempuan dan remaja. 

Dalam setahun, konsumsi rokok masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 300 miliar batang. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, jumlah perokok Indonesia ditaksir mencapai 65,19 juta orang atau setara dengan seperempat dari total populasi masyarakat Indonesia.

Persentase perokok anak di Tanah Air pada 2019 mencapai 9,1% pada 2018, naik dari 7,2% pada 2013. Angka perokok remaja untuk usia 15-18 tahun juga meningkat nyaris dua kali lipat dalam dua puluh tahun terakhir dari 12,7% tahun 2001 menjadi 23,1% pada 2016.

Kenaikan CHT juga diperuntukkan guna menaikkan penerimaan negara. Pemerintah memang butuh pendanaan yang berbasis non-utang mengingat rasio utang terhadap PDB RI sudah mencapai 48% tahun ini akibat penerimaan pajak yang lesu dan kebutuhan untuk menyalurkan stimulus jaring pengaman sosial akibat pandemi Covid-19.

Pendapatan negara dari CHT terus meningkat dari 2015 sebesar Rp 140 triliun menjadi Rp 159 triliun tahun lalu. Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta September 2020, realisasi penerimaan negara dari CHT mencapai 67,6% dari target atau sebesar Rp 111,46 triliun, tumbuh 8,53% (yoy) dari tahun lalu. 

Dengan dalih pengendalian jumlah perokok yang terus naik, pemerintah berencana untuk menaikkan CHT. Pada awal Januari lalu pemerintah sejatinya telah meningkatkan CHT sebesar 23% dengan alasan tak ada kenaikan CHT tahun 2019. Kenaikan CHT tersebut berdampak pada kenaikan harga jual eceran rokok mencapai 35%.

Keputusan terkait kenaikan CHT seharusnya diinformasikan hari ini. Namun belum ada pengumuman lebih lanjut terkait hal tersebut. Soal desas-desus kenaikan CHT yang mencapai 17% pun belum mendapat respons dari pihak kementerian keuangan.

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea Cukai Sunaryo ketika dikonfirmasi mengatakan keputusan belum bisa disampaikan. Ia mengatakan masih dalam pembahasan soal tarif cukai tersebut.

Sementara, Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu juga belum membalas pertanyaan yang diajukan CNBC Indonesia. Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi sebelumnya mengatakan pemerintah belum menentukan kebijakan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2021.

Kenaikan CHT untuk tahun 2021 yang mencapai dobel digit tentu saja tidak hanya memberatkan industri rokok nasional terutama pabrik rokok kecil yang jumlahnya terus tergerus, tetapi juga masyarakat Indonesia yang sehari-harinya bergantung pada rokok. 

Apabila melihat angka penjualan rokok dalam tiga tahun terakhir, kenaikan CHT sampai dobel digit cenderung menekan volume penjualan rokok. Apalagi di tahun ini ketika pandemi Covid-19 merebak. 

Kenaikan cukai ditambah dengan daya beli masyarakat yang tergerus membuat volume penjualan rokok mengalami kontraksi 17,5% (yoy) pada kuartal kedua. Volume penjualan mulai membaik di kuartal ketiga seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas publik (PSBB) dan adanya stimulus dari pemerintah. 

Namun volume penjualan rokok masih mengalami kontraksi. Pada kuartal III-2020 volume penjualan rokok menyusut 9,3% (yoy) menjadi 70,2 miliar batang. Pada periode sembilan bulan tahun ini volume penjualan tercatat turun 9,4% (yoy) menjadi 201,7 miliar batang. 

Duo raksasa produsen rokok nasional yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Samperna Tbk (HMSP) yang mengusai lebih dari 50% pangsa pasar rokok Tanah Air mencatatkan penurunan volume penjualan.

Di tengah merebaknya pandemi Covid-19 dan kenaikan CHT, volume penjualan rokok GGRM turun 8,8% (yoy) pada paruh pertama tahun ini menjadi 42,5 miliar batang. Di saat yang sama volume penjualan HMSP pada semester I tahun 2020 drop 18,2% (yoy).

Para produsen rokok raksasa tersebut sepanjang tahun ini belum agresif dalam meningkatkan harga rokok. Untuk rokok-rokok produk GGRM & HMSP rata-rata baru mengalami kenaikan harga jual rata-rata 9% - 10% sepanjang tahun 2020. 

Untuk periode September ke Oktober, beberapa produk dari GGRM yang mengalami kenaikan harga adalah Surya Pro 16, Surya Pro Mild 16, GG Move dan GG Signature Mild dengan kisaran peningkatan 1,6% - 5% (mom).

Sementara untuk produk HMSP merek rokok yang mengalami kenaikan harga jual rata-ratanya adalah Magnum Mild 16 dan U Mild dengan kenaikan masing-masing 5,2% (mom) dan 3% (mom).

Meskipun ada kenaikan harga tetap saja harga jual eceran di pasaran masih lebih rendah 12% - 30% dari yang ditarget yang dipatok kementerian keuangan di Rp 1.700/batang untuk kategori tier 1  jenis sigaret kretek mesin (SKM). 

Kenaikan harga rokok yang beredar di pasaran tidak sebanding dengan kenaikan cukai pita rokok, PPN dan pajak rokok yang menyumbang 80% dari total beban pokok produksinya (HPP/COGS). Sehingga menggerus margin laba kotor produsen.

Pada kasus GGRM, pada paruh pertama tahun ini naik 6,7% menjadi Rp 35,8 triliun atau setara dengan 79,5% dari HPP. Ini adalah sekelas pemain rokok yang skalanya besar.

Bagi perokok, CHT, PPN dan pajak rokok ini dibebankan ke konsumen sehingga membuat perokok di Tanah Air akan semakin tinggi ongkosnya untuk membeli rokok.

Di sisi lain gap antara harga jual eceran dan CHT yang tinggi antara golongan 1 dan 2 yang sangat lebar bisa sampai 50% juga membuat perilaku konsumen rokok Tanah Air berubah. 

Masyarakat Tanah Air cenderung mengurangi konsumsi rokoknya atau beralih ke rokok yang harganya lebih murah disamping loyalitas terhadap suatu merek akibat dampak psikologis tetap tinggi.

Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM) tinggi tar dan nikotin yang harganya lebih murah ketimbang SKM rendah tar. 

Saat volume penjualan rokok total mengalami kontraksi, pangsa pasar SKT dan SKM tinggi tar masing-masing naik menjadi 19,1% dan 43,5% pada kuartal kedua tahun ini.

Apabila perekonomian nasional belum mengalami perbaikan yang signifikan tahun depan, kenaikan CHT hingga dobel digit ini jelas akan menjadi beban bagi masyarakat dan pelaku industri rokok skala kecil. 

Sebagai informasi mayoritas masyarakat kalangan bawah Tanah Air adalah perokok. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan rokok kretek filter menjadi penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras dengan kontribusi sebesar 12%. Sedangkan rokok adalah kebutuhan yang elastis, saat harga rokok naik, ada saja upaya dari konsumen untuk tetap mendapatkan rokok.

Artinya jika cukai naik dan harga rokok ikut naik maka hal ini akan semakin mencekik masyarakat terutama kalangan bawah. Pandemi Covid-19 yang merebak terbukti telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di banyak negara. 

Berdasarkan proyeksi Bappenas, angka pengangguran akibat Covid-19 bisa melonjak ke 7% atau bahkan lebih. Angka kemiskinan juga diproyeksikan berpotensi kembali ke dobel digit. 

Kebijakan kenaikan CHT justru menjadi kebijakan yang kontra produktif untuk menggenjot perekonomian RI yang selama ini ditopang oleh konsumsi masyarakat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular