
Bukan Main-Main Bila Cukai Rokok Naik Sampai 17% Tahun Depan

Duo raksasa produsen rokok nasional yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Samperna Tbk (HMSP) yang mengusai lebih dari 50% pangsa pasar rokok Tanah Air mencatatkan penurunan volume penjualan.
Di tengah merebaknya pandemi Covid-19 dan kenaikan CHT, volume penjualan rokok GGRM turun 8,8% (yoy) pada paruh pertama tahun ini menjadi 42,5 miliar batang. Di saat yang sama volume penjualan HMSP pada semester I tahun 2020 drop 18,2% (yoy).
Para produsen rokok raksasa tersebut sepanjang tahun ini belum agresif dalam meningkatkan harga rokok. Untuk rokok-rokok produk GGRM & HMSP rata-rata baru mengalami kenaikan harga jual rata-rata 9% - 10% sepanjang tahun 2020.
Untuk periode September ke Oktober, beberapa produk dari GGRM yang mengalami kenaikan harga adalah Surya Pro 16, Surya Pro Mild 16, GG Move dan GG Signature Mild dengan kisaran peningkatan 1,6% - 5% (mom).
Sementara untuk produk HMSP merek rokok yang mengalami kenaikan harga jual rata-ratanya adalah Magnum Mild 16 dan U Mild dengan kenaikan masing-masing 5,2% (mom) dan 3% (mom).
Meskipun ada kenaikan harga tetap saja harga jual eceran di pasaran masih lebih rendah 12% - 30% dari yang ditarget yang dipatok kementerian keuangan di Rp 1.700/batang untuk kategori tier 1 jenis sigaret kretek mesin (SKM).
Kenaikan harga rokok yang beredar di pasaran tidak sebanding dengan kenaikan cukai pita rokok, PPN dan pajak rokok yang menyumbang 80% dari total beban pokok produksinya (HPP/COGS). Sehingga menggerus margin laba kotor produsen.
Pada kasus GGRM, pada paruh pertama tahun ini naik 6,7% menjadi Rp 35,8 triliun atau setara dengan 79,5% dari HPP. Ini adalah sekelas pemain rokok yang skalanya besar.
Bagi perokok, CHT, PPN dan pajak rokok ini dibebankan ke konsumen sehingga membuat perokok di Tanah Air akan semakin tinggi ongkosnya untuk membeli rokok.
Di sisi lain gap antara harga jual eceran dan CHT yang tinggi antara golongan 1 dan 2 yang sangat lebar bisa sampai 50% juga membuat perilaku konsumen rokok Tanah Air berubah.
Masyarakat Tanah Air cenderung mengurangi konsumsi rokoknya atau beralih ke rokok yang harganya lebih murah disamping loyalitas terhadap suatu merek akibat dampak psikologis tetap tinggi.
Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM) tinggi tar dan nikotin yang harganya lebih murah ketimbang SKM rendah tar.
Saat volume penjualan rokok total mengalami kontraksi, pangsa pasar SKT dan SKM tinggi tar masing-masing naik menjadi 19,1% dan 43,5% pada kuartal kedua tahun ini.
Apabila perekonomian nasional belum mengalami perbaikan yang signifikan tahun depan, kenaikan CHT hingga dobel digit ini jelas akan menjadi beban bagi masyarakat dan pelaku industri rokok skala kecil.
Sebagai informasi mayoritas masyarakat kalangan bawah Tanah Air adalah perokok. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan rokok kretek filter menjadi penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras dengan kontribusi sebesar 12%. Sedangkan rokok adalah kebutuhan yang elastis, saat harga rokok naik, ada saja upaya dari konsumen untuk tetap mendapatkan rokok.
Artinya jika cukai naik dan harga rokok ikut naik maka hal ini akan semakin mencekik masyarakat terutama kalangan bawah. Pandemi Covid-19 yang merebak terbukti telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di banyak negara.
Berdasarkan proyeksi Bappenas, angka pengangguran akibat Covid-19 bisa melonjak ke 7% atau bahkan lebih. Angka kemiskinan juga diproyeksikan berpotensi kembali ke dobel digit.
Kebijakan kenaikan CHT justru menjadi kebijakan yang kontra produktif untuk menggenjot perekonomian RI yang selama ini ditopang oleh konsumsi masyarakat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]