
AS Dekati RI Soal Laut China Selatan, Cari Teman Lawan China?

Jakarta, CNBC Indonesia - Laut China Selatan (LCS) sejak dulu telah menjadi wilayah rebutan banyak pihak, terutama China dengan tetangganya negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Selain dikenal karena kaya akan sumber daya alam berupa minyak dan gas serta hasil lautnya, LCS merupakan rute perdagangan yang strategis terutama untuk pengangkutan komoditas energi.
Menurut Council on Foreign Relation (CFR), pada 2016 total nilai perdagangan internasional yang melewati LCS mencapai US$ 3,37 triliun. Nilainya setara dengan tiga kali lipat output perekonomian Indonesia dalam satu tahun. Sebanyak 40% dari total perdagangan gas alam cair transit di LCS pada 2017.
LCS memang berada di jalur perdagangan strategis yang dilalui oleh banyak kapal tanker pengangkut minyak. Menurut CFR, 50% dari total kapal tanker pengangkut minyak global melewati LCS.
Jumlah kapal tanker pengangkut minyak yang melalui LCS tiga kali lebih banyak dari Terusan Suez dan lebih dari lima kali Terusan Panama. Lebih dari setengah dari 10 pelabuhan pengiriman terbesar di dunia juga berlokasi di LCS.
Bagi China,LCS merupakan aset yang sangat penting. RômuloBarizon Pitt dari Federal University of RioGrande doSul sekaligus peneliti dari Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS) dalam tulisannya menyebut bahwa pada 2017 diperkirakan sebanyak 40% perdagangan internasional China melewati kawasan itu.
Selat Malaka adalah titik penghubungnya yang paling terkenal, yang dilalui 80% minyak yang diimpor oleh China. Sejak reformasi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping, pertumbuhan PDB China pada 1981-2010 rata-rata berada di angka 10%. Barulah setelah itu pertumbuhan melambat di kisaran 6%-7% per tahun.
China pun menjelma sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga berarti China membutuhkan banyak pasokan energi sebagai bahan bakar untuk terus memecut roda perekonomiannya.
Oleh karena itu, keamanan energi menjadi salah satu prioritas utama China. Pasalnya jika kawasan Selat Malaka yang berada di jalur LCS diblokir maka jalur pengiriman minyak ke China harus memutar lebih jauh. Alhasil ongkos transportasinya akan lebih mahal, begitu juga biaya asuransi yang harus dikeluarkan untuk kapal tangkernya.
Artinya kepentingan nasional China terhadap LCS memang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan masalah pasokan dan energy security hingga masalah perdagangan yang selama ini jadi senjata utama China membangun perekonomiannya. Di sisi lain China juga mempersiapkan diri terhadap ancaman serangan dari AS dan sekutunya.
Kepentingan nasional yang kemudian memunculkan inisiatif melalui pembentukan pos-pos militer di sekitar LCS serta membangun kekuatan politik dan ekonomi di sekitar wilayah tersebut. Salah satu bentuk konkretnya adalah dengan adanya megaproyek jalur sutra atau One Belt One Road (OBOR).
Klaim China terhadap LCS berdasarkan acuan sembilan garis putus (nine dash line) serta pembangunan pangkalan militer di wilayah tersebut mendapatkan protes keras terutama dari negara-negara ASEAN yang juga mengklaim atas wilayah tersebut.
Negara di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam bahkan juga RI menolak keras klaim tersebut dan beberapa kali konfrontasi sempat terjadi, utamanya antara China dengan Filipina dan Vietnam.
Berbeda motif dengan China, AS sebagai negeri adikuasa memang tidak terlalu memiliki kepentingan dagang di wilayah tersebut mengingat kontribusinya yang terbilang kecil hanya 6% saja.
Namun sebagai Negara Adikuasa, AS tak bisa membiarkan ada negara lain yang mendominasi dan menantang hegemoninya, dalam hal ini adalah China. Kepentingan AS terhadap LCS tak terlepas dari motif untuk mempertahankan posisinya sebagai negara paling berkuasa di dunia.
Sejak 2011, fokus AS telah bergeser dari Timur Tengah ke wilayah Pasifik melalui pembentukan aliansi dengan negara sekitar seperti Australia dengan membangun pangkalan militer di Darwin, merangkul India dan Vietnam serta penerapan sistem anti-misil di Jepang.
Kepentingan strategis AS saat ini untuk kawasan LCS disajikan dalam Laporan Strategi Indo-Pasifik Departemen Pertahanan AS tahun 2019. Meskipun didasarkan pada poros pemerintahan Obama, dokumen tersebut memiliki perbedaan dalam menuduh China sebagai pesaing strategis dan kekuatan revisionis.
Dokumen ini mengacu pada Strategi Keamanan Nasional 2017 dan Strategi Pertahanan Nasional 2018, yang menyebutkan bahwa ancaman utama bagi kepentingan AS di luar negeri termasuk persaingan antara kekuatan besar (Rusia dan China) dan ancaman militer konvensional (dengan kata lain, memfokuskan kembali dari kontra-pemberontakan).
Bertentangan dengan konsep Pertempuran AirSea, yang berfokus pada kemampuan unik Amerika Serikat untuk menggunakan kekuatan gabungan (dimungkinkan oleh kemajuan teknologi), dokumen terbaru menekankan bahwa faktor tersebut hanya akan menentukan jika digunakan pada skala yang memadai.
Dokumen tahun 2019 mengakui bahwa skenario konflik jarak dekat dengan pesaing adalah hal yang berbahaya karena dalam kasus ini musuh akan memiliki keuntungan militer lokal di awal dalam kemungkinan konfrontasi singkat.
Untuk melawan ini, partisipasi aktif dari sekutu AS yang berkomitmen untuk konfrontasi bersama dari kekuatan revisionis (seperti ditulis oleh Rômulo Barizon Pitt), sangat penting.
AS akan bertindak berbeda tergantung pada seberapa dekatnya dengan negara-negara di kawasan tersebut dengan memetakan siapa yang menjadi sekutu (Jepang, Korea Selatan, Australia, Filipina, Thailand), mitra Kuat (Singapura, Taiwan, Selandia Baru, Mongolia), Kemitraan Samudra Hindia Baru (India , Sri Lanka, Maladewa, Bangladesh, Nepal), kemitraan baru di Asia Tenggara (Vietnam, Malaysia, Indonesia), mitra dialog (tingkat keterlibatan terendah dengan Brunei, Laos dan Kamboja).
Dengan demikian, AS berusaha di atas segalanya untuk menjaga keseimbangan kekuatan yang memberikan kredibilitas pada postur penjamin sekutunya dan dengan demikian mempertahankan posisi hegemoni-nya.
