Pada periode Juli-September 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) China naik 4,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Memang di bawah ekspektasi pasar, di mana konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan di angka 5,2%. Namun bisa tumbuh 4,9% saat banyak negara berkubang di 'lumpur' resesi tentu sebuah pencapaian yang patut diacungi empat jempol.
Ekonomi China juga sudah kembali positif. Kontraksi (pertumbuhan negatif) 6,8% pada kuartal I dibayar lunas dengan pertumbuhan pada kuartal III dan III masing-masing 3,2% dan 4,9%.
Perlahan tetapi pasti, China juga mulai menuju level pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yaitu di kisaran 6%. Bahkan tahun depan pertumbuhan ekonomi China diperkirakan semakin 'menggila'.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan PDB China pada 2021 akan tumbuh 8,2%. Sementara proyeksi dari Bank Pembangunan Asia (ADB) ada di 7,7%, Bank Dunia 7,9%, dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 8%.
Namun bukan hanya China yang bangkit. Amerika Serikat (AS), yang merupakan perekonomian terbesar di planet bumi, juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi.
Dalam laman GDPNow terbitan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta, PDB Negeri Paman Sam diperkirakan tumbuh 35,2% secara kuartalan yang disetahunkan. Jika terwujud, maka akan menjadi pencapaian terbaik sepanjang sejarah modern AS.
Berbagai data terbaru menegaskan bahwa ekonomi AS sudah lepas dari titik nadir dan semakin kuat. Namun yang paling mencolok adalah data di sektor properti.
Pembacaan awal indeks pasar perumahan AS periode Oktober menunjukkan angka 85. Naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 83 sekaligus menjadi catatan terbaik sepanjang sejarah.
"Industri perumahan bangkit dengan cepat dari hantaman pandemi virus corona. Permintaan meningkat sangat pesat dalam beberapa bulan terakhir, bahkan melampaui kecepatan pembangunan.
"Pada Agustus 2020, penjualan rumah baru mencapai 1,01 juta unit atau naik 4,8% YoY, laju tercepat sejak September 2006. Ada indikasi pengembang sudah bisa menjual rumah yang bahkan belum dibangun," sebut keterangan tertulis US National Association of Home Builders.
Sektor properti punya hubungan erat dengan bidang usaha lainnya. Saat penjualan properti meningkat, maka akan diiringi peningkatan permintaan semen, besi-baja, perlengkapan rumah tangga, sampai kredit perbankan. Oleh karena itu, sektor properti kerap menjadi indikator tingkat kesehatan ekonomi suatu negara.
Salah satu faktor yang membuat sektor properti bergairah adalah iklim suku bunga rendah. The Fed menetapkan suku bunga acuan ultra-rendah di 0-0,25%, terendah sepanjang sejarah. Tidak berhenti di sini, suku bunga rendah sudah tertransmisikan ke penurunan suku bunga kredit perbankan, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Saat ini rata-rata suku bunga KPR tenor 30 tahun di Negeri Adidaya hanya 3,0029% per tahun. Lagi-lagi, ini adalah yang terendah sepanjang sejarah.
Berdasarkan survei yang dilakukan Reuters pada 15-29 September terhadap lebih dari 40 analis, harga rumah di AS masih akan naik pada 2021 dan tahun-tahun setelahnya akibat tingginya permintaan. Sektor perumahan seakan menjadi satu-satunya tempat yang bersinar saat bidang usaha lainnya masih berjuang melawan dampak pandemi.
Tahun ini, para analis memperkirakan harga rumah akan naik 4% dan kemudian tumbuh 3,5% pada 2021 dan 2022. Kenaikan harga rumah akan melampaui laju inflasi.
 Reuters |
"Ada tiga faktor yang mendukung kenaikan harga rumah. Pertama adalah pasokan yang kurang memadai setelah bertahun-tahun minim pembangunan. Kedua, rumah menjadi tempat yang aman dan nyaman di tengah tren pembatasan sosial (social distacing). Ketiga, dan paling penting, adalah suku bunga rendah," jelas Nathaniel Karp, Chief US Economist BBVA, seperti dikutip dari Reuters.
Namun sayang, gairah ekonomi seperti di China dan AS sepertinya belum terasa di Indonesia. Pada kuartal III-2020, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memperkirakan PDB Tanah Air tumbuh negatif 1-2,9%.
"(Pada kuartal III-2020) konsumsi rumah tangga akan di antara minus 1,5-3%. Investasi juga masih mengalami tekanan antara minus 6,4-8,5%. Ekspor masih dalam range minus 8,7-13,9%," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
 Kementerian Keuangan |
Berbeda dengan krisis 1998 atau 2008, tekanan terhadap ekonomi pada 2020 bermuara di sisi kesehatan yaitu wabah virus corona. Penyebaran virus mematikan yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat pemerintahan di berbagai negara memberlakukan kebijakan pembatasan sosial sehingga ekonomi menjadi mati suri.
Sepanjang virus corona masih berkeliaran, maka warga (baik dengan kesadaran sendiri atau menuruti instruksi pemerintah) akan mengurangi kegiatan di luar rumah. Ini membuat roda ekonomi macet, tidak bisa bergerak cepat.
Oleh karena itu, krisis ekonomi saat ini belum bisa kelar sepanjang urusan kesehatan dan keselamatan nyawa belum dituntaskan. Kehadiran vaksin, obat, atau metode lainnya untuk mengenyahkan virus corona sangat dinanti agar masyarakat bisa berkegiatan dengan normal seperti dulu lagi. Ketika ini sudah bisa diwujudkan, maka ekonomi akan 'lari' dengan sendirinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA