Jakarta, CNBC Indonesia - Secara bulanan inflasi tak datang di Indonesia dalam periode tiga bulan terakhir secara berturut-turut atau genap satu kuartal. Indonesia justru mengalami deflasi secara month on month pada periode Juli-September 2020.
Deflasi yang terjadi di tengah merebaknya pandemi Covid-19 disebabkan oleh penurunan harga bahan pangan strategis. Di sisi lain, indikator inflasi inti yang mencerminkan permintaan terhadap barang dan jasa juga makin melemah yang mencerminkan adanya masalah dengan daya beli masyarakat Tanah Air.
Bulan lalu andil deflasi terbesar disumbang oleh penurunan harga bahan pangan strategis seperti daging ayam, telur ayam dan bawang merah sebesar -0,09% (mom). Diskon harga tiket pesawat juga menyumbang terjadinya deflasi. Hal ini tercermin dari andil deflasi sektor transportasi sebesar -0,04%.
Sementara itu pos yang menyumbang inflasi terbesar di bulan lalu adalah kelompok pendidikan akibat kenaikan uang kuliah serta pos biaya perawatan pribadi dan jasa lainnya yang masing-masing menyumbang inflasi sebesar 0,03% dan 0,02%.
Penurunan harga pangan memang jadi kontributor utama deflasi dalam beberapa bulan terakhir. Lantas bagaimana dengan bulan Oktober yang sudah memasuki periode minggu kedua ini?
Apakah harga bahan pangan masih akan terus turun dan deflasi masih akan terjadi sehingga semakin mengukuhkan bahwa resesi akan berlanjut hingga akhir tahun?
Berdasarkan survei pemantauan harga (SPH) minggu pertama bulan Oktober, Bank Indonesia (BI) memperkirakan bakal terjadi inflasi sebesar 0,02% (mom) sehingga secara tahunan inflasi akan berada di level 0,91% (yoy) dan kumulatifnya di 1,39% (yoy).
Andil inflasi juga masih banyak disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan strategis. "Penyumbang utama inflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas cabai merah sebesar 0,06% (mtm), minyak goreng dan bawang merah masing-masing sebesar 0,01% (mtm)" tulis BI dalam keterangan persnya.
Apabila dilihat pergerakan harga bahan pangan di berbagai pasar tradisional Tanah Air, harga cabai merah memang naik tinggi pada periode 15 September - 9 Oktober. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional mencatat harga cabai merah besar dan keriting masing-masing naik 25,9% dan 32,4%.
Untuk minyak goreng, terjadi peningkatan harga sebesar 1,6% pada periode yang sama. Minyak goreng yang digunakan untuk konsumsi di Indonesia berbahan dasar dari minyak sawit. Kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) membuat harga minyak goreng juga ikut terangkat.
Harga bawang merah juga mengalami peningkatan dengan besaran yang hampir serupa dengan minyak goreng. Sejak pertengahan September sampai sekarang harga bawang merah telah naik 1,4%.
"Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0.05% (mtm), emas perhiasan sebesar -0,02% (mtm) dan beras sebesar -0,01% (mtm)" lanjut BI dalam keterangannya.
Untuk telur ayam, harganya dalam sebulan terakhir telah turun sebesar 5,4% sedangkan untuk harga beras sendiri cenderung relatif stabil.
Kenaikan harga pangan terutama yang berbasis pada komoditas pertanian kemungkinan bakal mendongkrak inflasi untuk bulan Oktober. Namun kenaikan harga pangan tidak serta merta mengindikasikan adanya kenaikan permintaan.
Jika ditinjau lebih jauh lagi faktor pasokan lebih berperan dalam mengerek harga komoditas pangan di Tanah Air. Adanya fenomena iklim La Nina semakin menguatkan dugaan bahwa kenaikan harga lebih dipicu dari sisi suplai.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), La Nina adalah sebuah fenomena iklim yang menjadi menyebabkan curah hujan tinggi di berbagai wilayah tropis Pasifik. Intensitas hujan yang tinggi ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap output komoditas pertanian.
Jika curah hujan yang cukup tinggi terjadi pasca periode kering terjadi maka hal ini akan membantu mencukupi kebutuhan air untuk tanaman pangan. Namun jika berlebihan dan menyebabkan banjir tentu akan menyebabkan produktivitas menurun bahkan sampai gagal panen sehingga pasokan menurun dan harga naik.
Jika berkaca pada pengalaman sebelum-sebelumnya, La Nina menyebabkan banjir di berbagai daerah di Tanah Air mulai dari bulan Oktober hingga Januari. Hal ini akan memicu terjadinya gejolak harga komoditas pertanian sebelum, saat dan sesudah fenomena iklim ini terjadi.
Untuk komoditas yang seringkali jalur distribusinya tidak efisien seperti bawang merah dan cabai merah akan cenderung memiliki margin perdagangan dan pengangkutan yang tinggi. Artinya harga dari produsen ke konsumen tingkat akhir memiliki perbedaan yang kontras tingginya.
Fenomena kenaikan harga cabai merah dan bawang merah pun sudah mulai terlihat di bulan Oktober ini. Untuk cabai sendiri sentra produksinya tersebar di pulau Jawa dan Sumatera.
Berbagai peristiwa banjir yang sudah melanda pulau Jawa seperti di Cilacap dan Sukabumi sudah cukup menjadi tanda bahwa La Nina tahun ini juga tak ubahnya seperti fenomena yang terjadi pada tahun yang sudah-sudah.
Hal ini tentu perlu diwaspadai oleh pemerintah. Curah hujan yang tinggi akibat La Nina akan membuat situasi saat ini semakin kompleks. Jika banjir bandang menerjang di berbagai kawasan Tanah Air maka dampaknya bisa merembet ke mana-mana seperti kerugian materiil akibat bangunan yang terendam air, penyakit baru seperti diare, flu hingga tifus yang bakal memperparah kondisi pandemi Covid-19 yang sampai sekarang belum ditangani dengan baik.
Konsekuensi lain yang juga tak kalah mengerikan adalah pasokan bahan makanan yang tergerus akibat gagal panen sampai stok yang rusak dan membusuk sehingga membuat harga kebutuhan sehari-hari ini meroket dan mencekik daya beli masyarakat yang pada dasarnya sudah tertekan, terutama untuk kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan yang jumlahnya mencapai 24 juta jiwa.
Ya, untuk inflasi bulan Oktober kemungkinan besar masih disumbang oleh pos harga pangan bergejolak. Sementara untuk pos lainnya seperti transportasi, rekreasi, akomodasi meski sudah ada pelonggaran PSBB di DKI Jakarta, dampaknya kemungkinan masih minim akibat kondisi pandemi Covid-19 yang belum bisa tertangani dengan baik.
Ini jelas menjadi warning bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi yang tepat guna menghindari kenaikan inflasi yang jelas bukan mencerminkan daya beli masyarakat yang membaik, tapi karena faktor lain termasuk ancaman La Nina.
TIM RISET CNBC INDONESIA