BI Ramal September Ada Inflasi, Daya Beli Sudah Kembali?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 September 2020 14:22
Antrian Sembako di Kelurahan Pondok Kelapa AP/Achmad Ibrahim
Foto: Antrian Sembako di Kelurahan Pondok Kelapa AP/Achmad Ibrahim

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah berkali-kali sebelumnya diramal mengalami deflasi, Bank Indonesia (BI) memperkirakan bulan September ini akan terjadi inflasi meskipun tipis. 

Berdasarkan perkembangan terbaru Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu keempat September, BI memproyeksikan akan terjadi inflasi sebesar 0,01% (mom). Jika mengacu pada SPH minggu pertama-ketiga bulan ini, bank sentral nasional memprediksi deflasi sebesar -0,01% (mom).

Apabila proyeksi BI benar, maka inflasi bulan September 2020 secara tahun berjalan bakal berada di angka 0,95% (ytd) dan secara tahunan sebesar 1,48% (yoy). Ini pun masih lebih rendah dari sasaran target inflasi BI untuk tahun ini di 3±1%.

Penyumbang utama inflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas minyak goreng sebesar 0,02% (mom), bawang putih dan cabai merah masing-masing sebesar 0,01% (mom).

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) nasional harga minyak goreng di pasar tradisional Tanah Air sepanjang bulan ini telah naik 4,4%. Pada periode yang sama, harga bawang putih naik 1,3% dan untuk cabai merah keriting serta besar masing-masing naik dobel digit.

Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,04% (mom), daging ayam ras sebesar -0,02% (mom), bawang merah sebesar -0,02% (mom), jeruk, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (mom).

Dalam komponen inflasi, harga bahan pangan tergolong ke dalam kelompok inflasi yang bergejolak. Bulan lalu, kelompok ini menyumbang andil deflasi sebesar -0,23% ketika di saat yang sama terjadi deflasi -0,05%.

Untuk komponen inflasi bergejolak pangan, banyak faktor yang mempengaruhi. Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, pasokan domestik atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.

Meski terjadi gejolak, konsumen cenderung akan tetap membeli barang-barang tersebut karena merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini berbeda dengan produk lainnya seperti barang tahan lama (durable goods) misalnya.

Inflasi yang rendah sejatinya dapat dilihat dari berbagai kacamata seperti keberhasilan pemerintah mengontrol harga terutama untuk kebutuhan pokok, maupun penurunan permintaan akibat daya beli yang rendah.

Namun, fenomena inflasi yang rendah yang terjadi di dalam negeri lebih mengarah ke alasan kedua. Lemahnya daya beli masyarakat. Hal ini tercermin dari melambatnya inflasi inti.

Berbeda dengan komponen inflasi yang harganya diatur pemerintah maupun bergejolak (volatile), komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component).

Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Inflasi inti Indonesia terus mengalami perlambatan. Bahkan semakin signifikan ketika wabah Covid-19 merebak. Jika inflasi inti bulan Januari-April tahun ini masih mendekati angka 3%, komponen ini hanya terakselerasi 2% saja bulan lalu.

Inflasi yang rendah mengindikasikan daya beli yang lemah. Tergerusnya daya beli membuat permintaan barang dan jasa juga melambat bahkan merosot. Hal ini juga tercermin dari penerimaan pajak untuk pos Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Berdasarkan data dari realisasi APBN bulan Agustus lalu, nilai setoran PPN & PPnBM pada periode Januari-Agustus mencapai Rp 255,38 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 11,59% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu.

Nilai Setoran PajakSumber: APBN KiTa bulan Agustus 2020 Kementerian Keuangan

Apabila dicermati lebih lanjut, nilai setoran PPN dalam negeri mencapai Rp 157,83 triliun pada periode delapan bulan berjalan tahun ini. Angka setoran tersebut masih terkontraksi sebesar 6,2% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Setoran PajakSumber : APBN KiTa bulan Agustus Kementerian Keuangan

Tak bisa dipungkiri, daya beli masyarakat tergerus akibat pandemi Covid-19 yang merebak di dalam negeri. Untuk menyelamatkan perekonomian dari kemerosotan lebih lanjut dan agar resesi tidak berjalan lama, pemerintah dan bank sentral menggelontorkan stimulus jumbo. 

Pemerintah sendiri sudah menganggarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk mendongkrak perekonomian. Sementara itu BI selaku otoritas moneter telah memangkas suku bunga acuannya 100 basis poin (bps) sepanjang tahun ini.

Pemerintah dan BI juga bekerja sama dengan melakukan skema berbagi beban (burden sharing). Melalui skema ini BI akan membantu menambal defisit anggaran pemerintah untuk pembiayaan public goods.

Hanya saja ekonomi Indonesia tak bisa terselamatkan dari jurang resesi. Kontraksi output perekonomian masih akan berlanjut di kuartal ketiga. Dalam prediksi terbarunya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2020 berpotensi terkontraksi -1% hingga -2,9%. Sementara untuk sepanjang 2020, proyeksinya berada di -0,6% sampai -1,7%.

Adanya kebutuhan untuk mendongkrak perekonomian Tanah Air dan inflasi yang lebih rendah dari target sasaran membuat BI masih berpeluang untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps lagi. Dalam Tinjauan Kebijakan Moneter BI bulan Agustus uang beredar tumbuh 19,3% (yoy) untuk M1 dan 13,3% (yoy). Peningkatan M2 dikarenakan oleh operasi keuangan yang dilakukan pemerintah.

Namun BI menyoroti bahwa seiring pertumbuhan uang kuasi yang meningkat dipengaruhi oleh likuiditas masih tertahan di bank. Harapannya ke depan kebijakan moneter ekspansif BI ini dapat membuat perbankan lebih memacu penyaluran kreditnya lagi agar perekonomian kembali terdongkrak. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular