
BI Ramal September Ada Inflasi, Daya Beli Sudah Kembali?

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah berkali-kali sebelumnya diramal mengalami deflasi, Bank Indonesia (BI) memperkirakan bulan September ini akan terjadi inflasi meskipun tipis.
Berdasarkan perkembangan terbaru Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu keempat September, BI memproyeksikan akan terjadi inflasi sebesar 0,01% (mom). Jika mengacu pada SPH minggu pertama-ketiga bulan ini, bank sentral nasional memprediksi deflasi sebesar -0,01% (mom).
Apabila proyeksi BI benar, maka inflasi bulan September 2020 secara tahun berjalan bakal berada di angka 0,95% (ytd) dan secara tahunan sebesar 1,48% (yoy). Ini pun masih lebih rendah dari sasaran target inflasi BI untuk tahun ini di 3±1%.
Penyumbang utama inflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas minyak goreng sebesar 0,02% (mom), bawang putih dan cabai merah masing-masing sebesar 0,01% (mom).
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) nasional harga minyak goreng di pasar tradisional Tanah Air sepanjang bulan ini telah naik 4,4%. Pada periode yang sama, harga bawang putih naik 1,3% dan untuk cabai merah keriting serta besar masing-masing naik dobel digit.
Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,04% (mom), daging ayam ras sebesar -0,02% (mom), bawang merah sebesar -0,02% (mom), jeruk, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (mom).
Dalam komponen inflasi, harga bahan pangan tergolong ke dalam kelompok inflasi yang bergejolak. Bulan lalu, kelompok ini menyumbang andil deflasi sebesar -0,23% ketika di saat yang sama terjadi deflasi -0,05%.
Untuk komponen inflasi bergejolak pangan, banyak faktor yang mempengaruhi. Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, pasokan domestik atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.
Meski terjadi gejolak, konsumen cenderung akan tetap membeli barang-barang tersebut karena merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini berbeda dengan produk lainnya seperti barang tahan lama (durable goods) misalnya.
Inflasi yang rendah sejatinya dapat dilihat dari berbagai kacamata seperti keberhasilan pemerintah mengontrol harga terutama untuk kebutuhan pokok, maupun penurunan permintaan akibat daya beli yang rendah.
Namun, fenomena inflasi yang rendah yang terjadi di dalam negeri lebih mengarah ke alasan kedua. Lemahnya daya beli masyarakat. Hal ini tercermin dari melambatnya inflasi inti.
Berbeda dengan komponen inflasi yang harganya diatur pemerintah maupun bergejolak (volatile), komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component).
Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Inflasi inti Indonesia terus mengalami perlambatan. Bahkan semakin signifikan ketika wabah Covid-19 merebak. Jika inflasi inti bulan Januari-April tahun ini masih mendekati angka 3%, komponen ini hanya terakselerasi 2% saja bulan lalu.