Yakinlah! Rupiah Bakal Perkasa, RI Bisa Keluar dari Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 October 2020 14:08
Ilustrasi Dollar
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Faktor utama yang membebani langkah dolar AS adalah tren suku bunga rendah sepertinya masih akan terjadi sampai beberapa tahun ke depan. Saat ini suku bunga acuan Negeri Adikuasa berada di 0-0,25%, terendah sepanjang sejarah.

AS adalah negara dengan jumlah pasien positif corona terbanyak di dunia. Oleh karena itu, dampak dari wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini begitu luar biasa.

PDB AS mencatatkan kontraksi yang sangat dalam, mencapai 31,4% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized) pada kuartal II-2020. Ini menjadi catatan terburuk sejak 1940-an.

Pengangguran pun semakin banyak, karena dunia usaha tidak bisa menjalankan bisnis akibat kebijakan pembatasan sosial (social distancing) demi meredam penyebaran virus corona. Tingkat pengangguran di Negeri Adidaya sempat mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah pada April 2020 yaitu 14,7%.

Oleh karena itu, sepertinya akan butuh waktu lama bagi AS untuk benar-benar bangkit karena pandemi corona meninggalkan luka yang luar biasa. Berbagai kebijakan masih akan akomodatif, termasuk kebijakan moneter.

Mengutip data dotplot arah suku bunga acuan AS ke depan, paling cepat Federal Funds Rate baru naik pada 2022, itu pun kemungkinannya kecil. Bahkan pada 2023 sebagian besar anggota Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (Federal Open Market Committee/FOMC) masih menilai suku bunga acuan di 0-0,25% adalah yang paling tepat (appropriate). Sepertinya suku bunga baru naik dalam jangka panjang (longer run).

dot plotFOMC

"Kami masih melihat kemungkinan suku bunga mendekati nol setidaknya sampai 2022, median proyeksi bahkan pada 2023. Walau hanya sedikit yang menilai suku bunga akan naik pada 2023," kata Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, dalam konferensi pers usai rapat FOMC periode September 2020, seperti dikutip dari CNBC International.

Dengan suku bunga yang masih akan rendah sampai beberapa tahun ke depan, maka imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS akan ikut terpangkas. Ini akan sangat terasa di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi yang sangat sensitif terhadap dinamika suku bunga.

Per 8 Oktober pukul 12:51 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 0,7752%. Sejak akhir 2019 alias year-to-date, yield instrumen ini sudah terpangkas 113,48 basis poin (bps).

Pada Agustus, inflasi AS ada di 1,3096% YoY. Jadi keuntungan riil yang didapat investor setelah dikurangi inflasi adalah -0,5344%. Menaruh uang di obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump bukannya untung malah buntung.

Ini membuat permintaan terhadap aset-aset berbasis dolar AS bakal turun. Imbasnya, greenback akan kehilangan keseksiannya, bahkan sampai beberapa tahun ke depan.

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular