Omnibus Law Bikin PLTN Tak Bisa Segera Dibangun, Kenapa?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
08 October 2020 13:53
Pembangkit listrik tenaga nuklir UEA. Ist
Foto: Pembangkit listrik tenaga nuklir UEA. Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Sub tema ketenaganukliran turut masuk dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Senin (05/10/2020) lalu.

Beberapa ketentuan diubah untuk memudahkan masyarakat khususnya pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha di sektor ketenaganukliran.

Namun demikian, perubahan yang tertuang dalam Omnibus Law ini dianggap tidak serta merta bisa langsung mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.

Kepala Perwakilan Thorcon Indonesia Bob S Effendi mengatakan UU Cipta Kerja ini tak akan berdampak langsung pada pembangunan PLTN di Tanah Air karena PLTN masih menjadi opsi energi terakhir dalam Peraturan Pemerintah No.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Menurutnya, yang bakal mendorong pembangunan PLTN di dalam negeri nantinya adalah UU tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang saat ini masih dibahas bersama antara pemerintah dan DPR.

Di dalam Rancangan UU EBT menurutnya membuat opsi terakhir nuklir dalam PP No. 79 tahun 2014 itu kini menjadi tidak relevan lagi.

"Jadi, yang benar-benar mendorong terjadinya nuklir adalah Rancangan UU EBT, bukan Omnibus Law," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (08/10/2020).

Meski dinilai tidak mendorong langsung pembangunan PLTN secara segera, namun menurutnya Omnibus Law ini bakal memudahkan dalam proses perizinan ke depannya bila pemerintah secara jelas membuka izin pembangunan PLTN. Hal ini menurutnya dikarenakan UU Cipta Kerja mempermudah izin usaha menjadi satu pintu.

Akan tetapi, untuk mendapatkan izin, tentunya harus melalui pintu lain terlebih dahulu yakni UU EBT. Di dalam Rancangan UU EBT yang tengah di bahas pemerintah dan DPR, PLTN masuk ke dalam kategori energi baru.

"Namun, dengan adanya Omnibus Law ini, proses perizinan nuklirnya bisa lebih cepat, lebih mudah karena satu pintu seharusnya. Omnibus Law membuat proses perizinan dan proses investasi PLTN lebih mudah, tapi tidak membuka pintu PLTN," jelasnya.

Oleh karena itu, imbuhnya, UU EBT dan Omnibus Law ini keduanya sama-sama dibutuhkan.

Namun demikian, pihaknya menyayangkan masalah penelitian dan pengembangan, khususnya PLTN Prototipe tidak diatur di dalam Omnibus Law. Prototipe menurutnya hanya bisa dibangun oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

"Itu menjadi masalah karena hanya BATAN yang bisa melakukan pembangunan prototipe. Sedangkan PLTN yang generasi maju, generasi baru itu tidak bisa. Sementara dana pemerintah terbatas, sehingga pembangkit yang bisa dibangun (swasta) hanya PLTN yang komersial," ungkapnya.

Berdasarkan dokumen UU Cipta Kerja, sub tema Ketenaganukliran berada pada Paragraf 6, tepatnya Pasal 43. Pasal ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Tujuannya yakni "untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dari sektor ketenaganukliran."

Melalui Omnibus Law ini, disisipi satu pasal di antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.10 tahun 1997 yakni Pasal 2A yang berbunyi "Pemerintah Pusat berwenang memberikan perizinan berusaha terkait ketenaganukliran."

Lalu pada Pasal 4 terkait pembentukan Badan Pengawas, yang berbunyi:
1. Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan
pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

2. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi.

Pada UU ini juga mengatur tentang bahan galian nuklir. Pada Pasal 9 disebutkan bahwa:
1. Bahan Galian Nuklir dikuasai oleh negara.
2. Pemerintah Pusat menetapkan wilayah usaha pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai bahan galian nuklir diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan mengenai penambangan bahan galian nuklir ini diatur pada pasal berikutnya, yakni Pasal 9A. Berikut isinya:

1. Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
2. Kegiatan pertambangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara yang bekerja sama dengan sesama badan usaha
milik swasta.
3. Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
4. Pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif.
5. Badan usaha terkait pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan Mineral Ikutan Radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
6. Dalam hal orang perseorangan ataupun badan usaha menemukan Mineral Ikutan Radioaktif wajib mengalihkan kepada Negara atau Badan Usaha Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pertambangan Bahan Galian Nuklir dan Mineral Ikutan Radioaktif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lalu, terkait pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir juga diatur pada Pasal 14. Pada pasal ini disebutkan bahwa pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Pengawas. Pengawasan dilaksanakan melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi.

Sementara terkait pemanfaatan tenaga nuklir diatur pada Pasal 17, berikut isinya:
1. Setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada Pasal 20 diatur tentang kegiatan inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Demikian juga terkait limbah radioaktif diatur dalam Pasal 25. Berikut bunyinya:
1. Pemerintah Pusat menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi.
2. Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Adapun terkait sanksi diatur pada Pasal 41, yang berbunyi:
1. Barang siapa membangun, mengoperasikan, memanfaatkan dan/ atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Barang siapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
3. Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Maaf! RI Belum Siap Nuklir untuk Listrik, Tapi untuk Pangan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular