
Maaf! RI Belum Siap Nuklir untuk Listrik, Tapi untuk Pangan

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia masih menjadi polemik, terutama karena masih banyak pihak yang menentang karena khawatir risiko yang akan ditimbulkan dari PLTN.
Namun demikian, ini bukan berarti inovasi di bidang nuklir harus jalan di tempat. Masih banyak sektor lain yang membutuhkan teknologi nuklir, seperti pangan, pertanian, kesehatan, peternakan, sumber daya air, dan industri.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro, mengatakan aplikasi teknologi nuklir di bidang iradiasi pangan sangat bermanfaat, khususnya membantu para petani menghasilkan produk yang lebih baik dan tahan lama, sehingga membantu harga jual produk petani tetap terjaga.
"Teknologi tepat guna bisa menjadi alasan nuklir dikembangkan tidak hanya untuk PLTN, tapi juga untuk hal lainnya seperti untuk pangan dan pertanian. Ini perlu terus didorong," tutur Bambang dalam diskusi virtual dengan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) pada Kamis (13/08/2020).
Dia mengatakan pemanfaatan nuklir di sektor pertanian dan pangan bisa dilakukan melalui pengembangan iradiator gamma. Menurutnya iradiator gamma bisa membuat produk pertanian atau pangan lebih tahan lama dan tidak cepat busuk.
Namun sayangnya ini baru dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Serpong, Banten. Padahal kebutuhan sangat besar, sehingga diperlukan pengembangan lebih lanjut di tempat lain.
Iradiator gamma merah putih telah dibangun BATAN pada 2017 dengan tingkat kandungan dalam negeri sebesar 85%. Saat ini telah melayani 75 perusahaan dari berbagai jenis produk.
"Iradiator gamma ini harus dapat dibangun di daerah lain sesuai kebutuhan daerah untuk peningkatan ekspor," ujarnya.
Dia pun mengatakan pemanfaatan teknologi nuklir telah menghasilkan 44 varietas tanaman pangan seperti padi sebanyak 25 varietas, kacang kedelai 12 varietas, sorgum 3 varietas, kacang hijau 2 varietas, gandum tropis 1 varietas, dan kacang tanah 1 varietas.
Selain untuk sektor pangan dan pertanian, pemanfaatan nuklir di sektor kesehatan juga perlu ditingkatkan. Dia mengatakan, meski BATAN dan PT Kimia Farma telah berhasil memproduksi beberapa peralatan radiofarmaka, namun sayangnya masih sekitar 90% radioisotop dan radiofarmaka masih diimpor.
Untuk itu, menurutnya BATAN bersama Kimia Farma dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama untuk merevitalisasi ekosistem industri radioisotop dan radiofarmaka agar bisa menggantikan produk impor.
"Kita harus mendekatkan nuklir ke masyarakat. Kalau masyarakat sudah dekat dengan nuklir, maka diharapkan masyarakat tidak resistensi terhadap kehadiran nuklir," tuturnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Listrik Tenaga Nuklir di RI Harus Ada di 2050, Kenapa?