Listrik Tenaga Nuklir di RI Harus Ada di 2050, Kenapa?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 August 2020 20:10
Suasana di PLTN milik Rosatom
Foto: Rosatom

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2050 mencapai 31%. Namun, target ini kemungkinan bisa tercapai bila Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dibangun.

Hal ini disampaikan Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro dalam diskusi virtual dengan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) pada Kamis (13/08/2020).

"Untuk bisa sampai 31% pada 2050 berarti PLTN harus ada. Apalagi PLTN memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sumber EBT lainnya," tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran EBT hingga 2019 baru mencapai 9,15%. Adapun target pada 2025 mencapai 23%.

Untuk mencapai bauran EBT 31% itu, menurut Bambang dibutuhkan pembangunan pembangkit listrik berskala besar dan tidak bersifat musiman seperti sumber EBT lainnya.

Pembangkit Listrik Tenaga Air misalnya, dia mencontohkan, sumber daya air akan bersifat musiman dan tidak semua waduk atau bendungan memiliki sumber air besar.

Selain itu, dia pun membandingkannya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di mana iklim di Indonesia berbeda dengan Timur Tengah yang lebih terik sinar mataharinya.

Dari sisi pembangkitan pun, menurutnya, yang bisa mengganti sumber energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas yaitu nuklir. Dari sisi kemampuan mengalirkan listrik, satu unit PLTN bisa melistriki hingga 1,6 juta rumah.

Begitu pun dari sisi pengurangan emisi karbon, penggunaan satu pembangkit nuklir ini bisa mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 9 juta ton per tahun atau setara pengurangan emisi dari 2 juta mobil.

Dari sisi lapangan kerja, saat pembangunan dua reaktor PLTN 3,2 Giga Watt (GW) bisa menyerap tenaga kerja hingga 25.000 orang.

Ia mengakui, isu seputar pembangunan PLTN memang hanya sebatas wacana dan cenderung jalan di tempat. Bahkan, wacana ini sudah digaungkan sejak 1960-an. Kekhawatiran dampak radiasi nuklir terhadap masyarakat di sekitar area PLTN nantinya memang jadi salah satu penyebabnya. Untuk itu, menurutnya, penggunaan teknologi nuklir yang sudah terbukti dan aman sangat diperlukan.

"Indonesia yang rawan gempa bumi ini sering menjadi isu keberadaan PLTN, kecuali kita bisa mengajukan penggunaan teknologi yang terbukti dan aman," ungkapnya.

Dia mengusulkan penggunaan bahan baku thorium untuk PLTN bisa dijadikan salah satu opsi untuk pengembangan PLTN, sehingga bukan hanya dari uranium. Apalagi, lanjutnya, limbah thorium bisa digunakan kembali.

Selain itu, menurutnya, Indonesia berpotensi mengekspor listrik ke Singapura, terutama ketika kontrak impor gas Singapura dari Indonesia yang akan berakhir sekitar 2022/2023 dan Singapura berkomitmen untuk menggunakan sumber energi bersih. Hal ini menurutnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk ekspor listrik ke Singapura, terutama bila dibangun PLTN di daerah Kalimantan atau Bangka Belitung.

Tapi untuk merealisasikan pembangunan PLTN, maka menurutnya perlu dipertegas dalam kebijakan energi nasional serta Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

"Kita harus diskusikan bersama. Saat ini belum ada dukungan penuh dari para pemangku kepentingan," ujarnya.

Ia menjelaskan, pemanfaatan nuklir di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024 tidak hanya sebatas pada PLTN, namun juga pangan, lingkungan, kesehatan, material maju, industri hankam, SDM, dan energi menjadi salah satunya dalam bentuk PLTN.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Maaf! RI Belum Siap Nuklir untuk Listrik, Tapi untuk Pangan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular