
Jadi Wacana Sejak 1960-an, Kok RI Belum Bisa Bikin PLTN Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro buka-bukaan perihal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Menurut dia, pembangunan PLTN selama ini masih sebatas wacana dan cenderung jalan di tempat.
Bahkan, lanjut Bambang, wacana ini sudah digaungkan sejak 1960-an. Kekhawatiran dampak radiasi nuklir terhadap masyarakat di sekitar area PLTN memang jadi salah satu penyebab. Untuk itu, kata Bambang, penggunaan teknologi nuklir yang sudah terbukti dan aman sangat diperlukan.
"Indonesia yang rawan gempa bumi ini sering menjadi isu keberadaan PLTN, kecuali kita bisa mengajukan penggunaan teknologi yang terbukti dan aman," ujarnya dalam diskusi virtual dengan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) pada Kamis (13/08/2020).
Oleh karena itu, Bambang mengusulkan penggunaan bahan baku thorium untuk PLTN bisa dijadikan salah satu opsi untuk pengembangan PLTN, sehingga bukan hanya dari uranium. Apalagi, lanjutnya, limbah thorium bisa digunakan kembali.
Indonesia berpotensi mengekspor listrik ke Singapura, terutama ketika kontrak impor gas Singapura dari Indonesia yang akan berakhir sekitar 2022/2023 dan Singapura berkomitmen untuk menggunakan sumber energi bersih. Hal itu menurut Bambang, bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk ekspor listrik ke Singapura, terutama bila dibangun PLTN di daerah Kalimantan atau Bangka Belitung.
Tapi untuk merealisasikan pembangunan PLTN, maka perlu dipertegas dalam kebijakan energi nasional serta Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
"Kita harus diskusikan bersama. Saat ini belum ada dukungan penuh dari para pemangku kepentingan," kata Bambang.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pemanfaatan nuklir di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024 tidak hanya sebatas pada PLTN, namun juga pangan, lingkungan, kesehatan, material maju, industri hankam, SDM, dan energi menjadi salah satunya dalam bentuk PLTN.
Pembangunan PLTN juga harus dilakukan demi mengejar bauran energi 31% pada tahun 2050. Capaian bauran energi Indonesia masih jauh dari target di mana pada tahun 2019 baru tercapai 9,15%, sementara tahun 2025 ditargetkan 23%.
"Untuk bisa sampai 31% pada 2050 berarti PLTN harus ada. Apalagi PLTN memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sumber energi baru terbarukan (EBT) lainnya," tuturnya.
Eks Menteri Keuangan itu menyebut untuk mencapai bauran energi 31% dibutuhkan pembangunan pembangkit listrik berskala besar dan tidak bersifat musiman seperti sumber EBT lainnya. Pembangkit Listrik Tenaga Air misalnya, dia mencontohkan, sumber daya air akan bersifat musiman dan tidak semua waduk atau bendungan memiliki sumber air besar.
Selain itu, dia pun membandingkannya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di mana iklim di Indonesia berbeda dengan Timur Tengah yang lebih terik sinar mataharinya.
Dari sisi pembangkitan pun, menurut Bambang, yang bisa mengganti sumber energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas yaitu nuklir. Dari sisi kemampuan mengalirkan listrik, satu unit PLTN bisa melistriki hingga 1,6 juta rumah.
Begitu pun dari sisi pengurangan emisi karbon, penggunaan satu pembangkit nuklir ini bisa mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 9 juta ton per tahun atau setara pengurangan emisi dari 2 juta mobil. Dari sisi lapangan kerja, saat pembangunan dua reaktor PLTN 3,2 Giga Watt (GW) bisa menyerap tenaga kerja hingga 25.000 orang.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Maaf! RI Belum Siap Nuklir untuk Listrik, Tapi untuk Pangan