
RI Sejengkal Lagi Resesi, Kok BI Belum Turunkan Bunga?

BINamun sejatinya ruang pemangkasan suku bunga masih ada. Hal ini didorong oleh tiga faktor pendukung. Pertama adalah pernyataan the Fed yang bakal menerapkan kebijakan akomodatif dalam waktu yang lama.
Ketua the Fed Jerome Powell mengatakan bahwa suku bunga acuan Fed Fund Rates (FFR) akan ditahan mendekati nol persen hingga 2023 sampai indikator sasaran target inflasi rata-rata 2% dan kondisi maximum employment tercapai.
Selain menggunakan tool suku bunga acuan, the Fed juga secara agresif telah menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan dengan melakukan pembelian aset-aset keuangan seperti obligasi pemerintah hingga efek beragun aset properti untuk meningkatkan monetary base serta mendorong perekonomian.
Kebijakan pelonggaran kuantitatif (QE) tersebut nilainya bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan program yang sama saat krisis keuangan global tahun 2008 silam.
Jika saat itu neraca bank sentral paling berpengaruh di dunia hanya tumbuh sedikit saja, kali ini pada periode Januari-Agustus aset the Fed dari sisi neraca telah mengembang sebesar US$ 2,82 triliun atau hampir 2,8x output perekonomian RI.
Stance dovish the Fed yang masih tetap sama dan selisih pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 bps (the Fed memangkas 150 bps FFR sepanjang tahun 2020), menjadi alasan pertama mengapa ruang pemangkasan suku bunga masih terbuka.
Alasan kedua adalah rendahnya inflasi. Sejak bulan Juli hingga Agustus, Indonesia mengalami fenomena penurunan harga atau deflasi. BI memperkirakan deflasi masih akan terjadi di bulan September. Jika hal ini terjadi maka genap Indonesia mengalami deflasi satu kuartal penuh.
Deflasi yang terjadi lebih diakibatkan oleh penurunan inflasi komponen bergejolak makanan. Namun perlambatan inflasi inti juga mencerminkan adanya tekanan permintaan dan tergerusnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Data BPS menunjukkan pada bulan Agustus, inflasi inti Indonesia melambat menjadi 2,03% dari bulan sebelumnya 2,07% dan dari 2,9% saat sebelum pandemi. Sementara itu tingkat inflasi tahunan juga berada di angka 1,32%. Jauh di bawah sasaran target BI di 3 ± 1% tahun ini.
Terakhir, ancaman resesi yang melanda RI juga jadi faktor yang bakal membuat BI menurunkan kembali suku bunga acuannya. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi 1,76% dalam skenario berat dan 0,6% skenario ringan tahun ini.
Ketiga alasan tersebut setidaknya sudah cukup memberi alasan BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps lagi dan menahannya di 3,75% hingga akhir tahun.
Sebenarnya selain kebijakan moneter terkait suku bunga acuan, BI juga menjalankan program pelonggaran kuantitatif (QE). Hanya saja modelnya sedikit berbeda dengan negara-negara maju seperti di AS yang dilakukan dengan membeli aset keuangan secara besar-besaran.
QE BI dilakukan dengan menginjeksi likuiditas di perbankan sampai Rp 662,1 triliun sampai 15 September 2020 terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun.
Maklum sektor perbankan RI masih memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembiayaan perekonomian berbeda dengan negara-negara maju yang pasar modalnya sudah matang dan punya andil besar terhadap perekonomian.
BI dan otoritas fiskal juga berupaya untuk memperkuat sinergi dalam menyelamatkan perekonomian dalam negeri dengan skema tanggung beban bersama atau yang lebih dikenal dengan burden sharing. Secara sederhana, bank sentral turun tangan untuk menambal defisit anggaran pemerintah.
Melalui skema ini BI telah melakukan pembelian SBN secara langsung sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli lalu sebesar Rp 99,08 triliun untuk membantu mendanai public goods yang terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda.
Sementara untuk mendanai non-public goods-UMKM BI juga telah merealisasikan pendanaan sebesar Rp 44,38 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]
