Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 16-17 September lalu memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. Kebijakan tersebut tidaklah mengejutkan dan sesuai dengan konsensus pasar.
Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) tetap di tahan di 4%, begitu juga dengan suku bunga koridor atau standing facility rate. Suku bunga deposit facility tetap di 3,25% dan lending facility di 4,75%.
Di tengah pandemi Covid-19 dan ancaman resesi yang semakin nyata melanda Indonesia, otoritas moneter Tanah Air itu justru memilih untuk menahan suku bunga acuannya. Namun ini sudah diprediksi sebelumnya. Poling yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan bahwa BI bakal menahan suku bunga acuan.
Alasan dibalik kebijakan BI tersebut adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan mandatnya yang tertuang dalam UU nomor 3 tahun 2004. Tugas BI sebagai bank sentral adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar baik terhadap harga barang (inflasi) maupun terhadap nilai tukar lainnya.
Di sepanjang tahun ini BI telah memangkas 100 basis poin suku bunga acuan, selaras dengan kebijakan moneter global yang akomodatif untuk mengurangi gejolak di pasar keuangan serta dalam rangka untuk menyelamatkan perekonomian dari kejatuhan yang sangat dalam akibat pandemi Covid-19.
Rupiah sebagai soft currency memang seringkali menjadi bahan spekulasi di pasar. Banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah mulai dari sentimen hingga sisi fundamentalnya yang tercermin dari kondisi perekonomian Indonesia, inflasi dan juga suku bunga hingga transaksi berjalan dan neraca pembayaran.
Masalahnya adalah dari sisi transaksi berjalan Indonesia masih membukukan defisit. Rupiah selama ini ditopang oleh hot money alias aliran modal yang sifatnya sementara saja dan bisa keluar kapan saja (outflow).
Karakteristik ini lah yang jadi fokus BI untuk menjaga nilai tukar agar tak menyimpang jauh dari fundamentalnya sekaligus sesuai dengan mekanisme pasar. BI tak bisa terlalu agresif dalam melakukan pemangkasan suku bunga acuan.
Penurunan suku bunga acuan akan membuat imbal hasil dari aset-aset keuangan dalam negeri menjadi kurang menarik. Sehingga uang dari para investor ini akan lari mencari rumah baru yang memberikan ruang untuk tumbuh yang lebih tinggi dan sesuai dengan selera risiko si empunya.
Jika dibandingkan dengan negara emerging market lain, Rusia dan Brazil menjadi yang paling agresif dalam menempuh kebijakan moneter yang ekspansif. Bank sentral Rusia dan Brazil masing-masing memangkas suku bunga acuannya sebesar 200 bps dan 250 bps.
Hal tersebut membuat nilai tukarnya ambrol di hadapan dolar AS. Di arena pasar spot sepanjang tahun ini Rubel Rusia telah terdepresiasi sebesar 22,97%. Di saat yang sama Real Brazil bahkan anjlok lebih dalam hingga 36,14%.
Selain sebagai simbol kedaulatan negara, nilai tukar rupiah juga memiliki peran penting terhadap perekonomian. Volatilitas rupiah yang tinggi di pasar mencerminkan risiko yang tinggi pula ketika ingin berinvestasi ke suatu negara.
Apresiasi dan depresiasi rupiah yang terlalu tajam pada dasarnya tidak baik untuk perekonomian. Jika menguat signifikan, maka ekspor terutama untuk produk manufaktur menjadi kurang kompetitif.
Namun jika terlalu ambrol impor akan menjadi semakin mahal. Impor Indonesia didominasi oleh bahan baku dan barang modal.
Hal ini akan berpengaruh terhadap margin serta keputusan ekspansi atau investasi korporasi bahkan bisa memicu terjadinya imported inflation mengingat Indonesia juga menjadi net importir minyak yang sangat berisiko akan gejolak (shock) pasokan dan volatilitas harga komoditas tersebut.
Menjaga kestabilan rupiah pada akhirnya memastikan bahwa aktivitas ekonomi bisa berjalan dengan baik. Apalagi kebutuhan untuk menjaga stabilitas rupiah memang mendesak saat pandemi Covid-19 memicu terjadinya outflow dana asing di pasar saham maupun SBN yang menyebabkan rupiah bergerak liar.
Dengan menahan suku bunga acuan, BI juga sedang berupaya untuk menjaga aset-aset keuangan dalam negeri tetap memberikan imbal hasil yang menarik sehingga ada aliran masuk (inflow) yang turut membantu rupiah agar tak terdepresiasi lebih lanjut.
Jika melihat imbal hasil riil aset keuangan berupa obligasi pemerintah, maka RI tergolong yang memberikan yield yang menarik dibandingkan dengan negara berkembang (emerging market) lain serta negara maju seperti Jepang dan AS yang imbal hasil setelah dikurangi inflasinya sudah berada di teritori negatif.
BINamun sejatinya ruang pemangkasan suku bunga masih ada. Hal ini didorong oleh tiga faktor pendukung. Pertama adalah pernyataan the Fed yang bakal menerapkan kebijakan akomodatif dalam waktu yang lama.
Ketua the Fed Jerome Powell mengatakan bahwa suku bunga acuan Fed Fund Rates (FFR) akan ditahan mendekati nol persen hingga 2023 sampai indikator sasaran target inflasi rata-rata 2% dan kondisi maximum employment tercapai.
Selain menggunakan tool suku bunga acuan, the Fed juga secara agresif telah menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan dengan melakukan pembelian aset-aset keuangan seperti obligasi pemerintah hingga efek beragun aset properti untuk meningkatkan monetary base serta mendorong perekonomian.
Kebijakan pelonggaran kuantitatif (QE) tersebut nilainya bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan program yang sama saat krisis keuangan global tahun 2008 silam.
Jika saat itu neraca bank sentral paling berpengaruh di dunia hanya tumbuh sedikit saja, kali ini pada periode Januari-Agustus aset the Fed dari sisi neraca telah mengembang sebesar US$ 2,82 triliun atau hampir 2,8x output perekonomian RI.
Stance dovish the Fed yang masih tetap sama dan selisih pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 bps (the Fed memangkas 150 bps FFR sepanjang tahun 2020), menjadi alasan pertama mengapa ruang pemangkasan suku bunga masih terbuka.
Alasan kedua adalah rendahnya inflasi. Sejak bulan Juli hingga Agustus, Indonesia mengalami fenomena penurunan harga atau deflasi. BI memperkirakan deflasi masih akan terjadi di bulan September. Jika hal ini terjadi maka genap Indonesia mengalami deflasi satu kuartal penuh.
Deflasi yang terjadi lebih diakibatkan oleh penurunan inflasi komponen bergejolak makanan. Namun perlambatan inflasi inti juga mencerminkan adanya tekanan permintaan dan tergerusnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Data BPS menunjukkan pada bulan Agustus, inflasi inti Indonesia melambat menjadi 2,03% dari bulan sebelumnya 2,07% dan dari 2,9% saat sebelum pandemi. Sementara itu tingkat inflasi tahunan juga berada di angka 1,32%. Jauh di bawah sasaran target BI di 3 ± 1% tahun ini.
Terakhir, ancaman resesi yang melanda RI juga jadi faktor yang bakal membuat BI menurunkan kembali suku bunga acuannya. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi 1,76% dalam skenario berat dan 0,6% skenario ringan tahun ini.
Ketiga alasan tersebut setidaknya sudah cukup memberi alasan BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps lagi dan menahannya di 3,75% hingga akhir tahun.
Sebenarnya selain kebijakan moneter terkait suku bunga acuan, BI juga menjalankan program pelonggaran kuantitatif (QE). Hanya saja modelnya sedikit berbeda dengan negara-negara maju seperti di AS yang dilakukan dengan membeli aset keuangan secara besar-besaran.
QE BI dilakukan dengan menginjeksi likuiditas di perbankan sampai Rp 662,1 triliun sampai 15 September 2020 terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun.
Maklum sektor perbankan RI masih memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembiayaan perekonomian berbeda dengan negara-negara maju yang pasar modalnya sudah matang dan punya andil besar terhadap perekonomian.
BI dan otoritas fiskal juga berupaya untuk memperkuat sinergi dalam menyelamatkan perekonomian dalam negeri dengan skema tanggung beban bersama atau yang lebih dikenal dengan burden sharing. Secara sederhana, bank sentral turun tangan untuk menambal defisit anggaran pemerintah.
Melalui skema ini BI telah melakukan pembelian SBN secara langsung sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli lalu sebesar Rp 99,08 triliun untuk membantu mendanai public goods yang terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda.
Sementara untuk mendanai non-public goods-UMKM BI juga telah merealisasikan pendanaan sebesar Rp 44,38 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA