Soal Testing-Tracing-Treatment Corona, Sehebat Apa Indonesia?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2020 06:44
Penumpang KRL di Stasiun Manggarai (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Penumpang KRL di Stasiun Manggarai (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penanggulangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) tidak jarang menjadi sorotan dunia. Rasanya itu memang bukan tanpa sebab.

"Hampir tidak ada yang berpikir bahwa Indonesia menangani pandemi virus corona dengan baik. Sebelum awal Maret, pemerintah mengklaim tidak ada kasus... Pada 2 Maret, Indonesia akhirnya mengakui bahwa virus corona sudah datang dan (pemerintah) akhirnya mulai bertindak.

"Tragisnya, tes dalam skala luas, penanganan yang tepat, dan isolasi yang ketat sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Pemerintah kerepotan menyiapkan sistem kesehatan untuk mengatasi, ini pun sepertinya menjadi misi yang mustahil," tulis Tim Lindsey (Profesor University of Melboune) dan Tim Mann (kandidat doktor University of Melbourne) dalam artikel berjudul Indonesia was in Denial Over Coronavirus, Now It May be Facing a Looming Disaster yang dimuat di The Conversation.

Pendapat semacam itu bukan sekali-dua kali muncul di media internasional. Tentu ada latar belakang mengapa pandangan negatif itu bermunculan.

Per 22 September 2020, jumlah pasien positif corona di Indonesia adalah 252.923 orang. Bertambah 4.071 orang (1.64%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (9-22 September), rata-rata pasien baru bertambah 3.778 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 3.013 orang.

Apakah dari data ini saja sudah memberi justifikasi bahwa pemerintah tidak beres dalam menangani pagebluk virus yang awalnya menyebar dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu? Mari kita tilik sedikit lebih dalam.

Blavatnik School of Government University of Oxford mengembangkan penilaian bagaimana sebuah negara mengatasi wabah virus corona. Salah satu aspek yang dinilai adalah kesehatan yaitu Containment Health Index.

Indeks ini mengukur kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi dari sisi kesehatan, apakah itu dengan menerapkan pembatasan sosial (social distancing) yang ketat, melakukan tes massal, sampai investasi dalam pengembangan vaksin. Nilai indeks diperbarui secara harian, meski perubahannya tidak dinamis.

Per 22 September 2020, skor Containment Health Index Indonesia ada di 64,02 dari skala 1 sampai 100. Rata-rata nilai Containment Health Index di 41 negara berpendapatan menengah-atas adalah 64,59. Indonesia masih berada di bawah rata-rata itu.

Peran pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona secara garis besar digambarkan dengan 3T yaitu testing (pengujian), tracing (pelacakan), dan treatment (penanganan). Dalam tiga hal ini, posisi Indonesia juga masih lemah.

Mengutip data Worldometer, Indonesia sudah melakukan pengujian terhadap 2.994.069 spesimen per 22 September. Dengan populasi yang lebih dari 274 juta orang, maka jumlah tes per 1 juta penduduk adalah 10.920.

Di antara 10 negara berpenduduk terbanyak dunia, jumlah tes per 1 juta orang di Indonesia adalah yang kedua terendah. Indonesia hanya unggul dari Nigeria.

Padahal di antara negara-negara tersebut ada yang berpendapatan menengah-bawah yang notabene di bawah Indonesia. Sebut saja India, Pakistan, dan Bangladesh.

Tes menjadi penting karena bisa menjadi penentu langkah selanjutnya. Semakin banyak tes memang kemungkinan ditemukannya pasien baru semakin besar. Namun ini akan menjadi dasar penanganan selanjutnya, apakah harus masuk perawatan intensif di fasilitas kesehatan atau cukup dengan isolasi mandiri di tempat yang sudah disediakan pemerintah untuk yang tanpa gejala.

Dengan tes Indonesia yang masih terbatas, kemungkinan besar masih banyak kasus yang belum muncul ke permukaan. Oleh karena itu, meski tambahan jumlah pasien dalam beberapa hari ini menimbulkan rasa parno, tetapi rasanya puncak pandemi corona belum terlihat. Ke depan, bukan tidak mungkin rekor-rekor tambahan pasien baru akan kembali terlihat.

Kemudian beralih ke tracing, kita kembali ke indeks yang disusun oleh Blavatnik School of Government University of Oxford. Selain Containment Health Index, ada pula Contact Tracing Index, yang digambarkan dengan skala 0-2. Nol berarti tidak ada upaya pelacakan kontak, satu berarti ada tetapi terbatas (tidak dilakukan terhadap seluruh kasus), dan dua berarti pelacakan kontak yang komprehensif (dilakukan terhadap seluruh kasus).

Skor Indonesia adalah satu, artinya ada pelacakan tetapi terbatas. Median skor negara-negara berpendapatan menengah-atas adalah dua. Lagi-lagi Indonesia masih di bawah itu.

Bahkan skor Containment Health Index di 10 negara berpenduduk terbanyak dunia pun menunjukkan median yang sama, dua. Indonesia memang masih tertinggal dalam hal pelacakan, kalah ketimbang negara berpendapatan menengah-bawah seperti India, Pakistan, dan Nigeria.

Apakah luas wilayah suatu negara menentukan kemampuan untuk melakukan pelacakan? Bisa ya, bisa tidak.

Amerika Serikat (AS) punya wilayah yang lebih luas ketimbang Indonesia, dan sama-sama punya nilai satu dalam hal pelacakan. Namun negara dengan wilayah yang luas ternyata bisa melakukan pelacakan dengan komprehensif, seperti Rusia, India, sampai Brasil. So, sepertinya luas wilayah belum bisa jadi alasan yang kuat.

Terakhir adalah treatment. Dalam hal ini, Indonesia juga masih tertinggal.

Di antara 10 negara berpenduduk terbanyak dunia, rasio kematian (mortality rate) akibat virus corona di Indonesia adalah yang tertinggi ketiga. Hanya lebih baik ketimbang Meksiko dan China.

Mengutip data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia per 2017 adalah 1,04 per 1.000 penduduk. Lebih sedikit ketimbang Rusia (8,05), China (4,32), atau Amerika Serikat (AS).

Sedangkan data Bank Dunia menyebut rasio jumlah tenaga medis per 1.000 penduduk Indonesia pada 2018 adalah 0,4. Lebih sedikit ketimbang India (0,9), Rusia (1,6), Pakistan (1), bahkan Bangladesh (0,6).

Untuk meredam penyebaran virus corona, rakyat memang berperan besar dengan cara menjalankan 3M. Memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

Namun pemerintah juga tidak bisa berpangku tangan. Negara wajib melindungi dan merawat rakyatnya berbagai ancaman, termasuk penyakit. Oleh karena itu, 3T tadi juga harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular