Dalam proyeksi terbarunya, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan output perekonomian atau Produk Domestik Bruto/PDB dunia tahun ini akan mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif sebesar -4,5%. Jauh memburuk dibandingkan pencapaian 2009 yang tumbuh 2,9%.
Wabah virus corona yang ditangani dengan 'mengunci' kegiatan publik membuat ekonomi seakan mati suri. Ketika orang-orang terpaksa (atau dipaksa?) untuk #dirumahaja maka dua sisi ekonomi akan terpukul sekaligus, penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Oleh karena itu, tidak heran banyak negara berjatuhan ke jurang resesi. Pengertian resesi adalah kontraksi PDB dua kuartal beruntun. Berdasarkan catatan Trading Economics, sudah ada 46 negara yang mengidap resesi.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai saat ini, Indonesia belum sah masuk resesi. Meski pada kuartal II-2020 terjadi kontraksi ekonomi 5,32%, tetapi kuartal sebelumnya masih tumbuh 2,97%.
Penentuan ada pada kuartal III-2020. Jika pada periode Juli-September 2020 PDB kembali terkontraksi, maka Indonesia resmi mengalami resesi. Nah, rasanya peluang ke arah sana sangat besar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita Edisi September 2020 mengungkapkan, PDB Indonesia pada kuartal III-2020 kemungkinan mengalami kontraksi -1% hingga -2,9%. Sementara untuk sepanjang 2020, proyeksinya berada di -0,6% sampai -1,7%.
Artinya, Indonesia akan sah dan meyakinkan masuk jurang resesi. Sesuatu yang kali pertama dialami sejak 1999.
"Negative teritory (PDB) pada kuartal III dan mungkin akan berlangsung sampai kuartal IV. Namun kita akan usahakan mendekati nol," kata Sri Mulyani.
Akhirnya pemerintah memberi konfirmasi bahwa resesi ekonomi tidak bisa terhindarkan lagi. Data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 memang baru diumumkan awal November, tetapi rasanya hanya akan mempertegas proyeksi tersebut.
Mengapa Sri Mulyani dan kolega sampai memperkirakan ekonomi kuartal III-2020 tumbuh negatif? Bukan tanpa alasan, data realisasi APBN menunjukkan bahwa ekonomi Tanah Air memang masih sangat lesu.
Kelesuan ekonomi terlihat dari data penerimaan pajak. Pajak menggambarkan aktivitas ekonomi. Pajak Penghasilan (PPh) dibayarkan atas kegiatan yang menimbulkan tambahan pendapatan, sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hadir di hampir setiap transaksi. Jadi kalau penerimaan pajak seret, maka tandanya ekonomi juga sedang mampet.
Sepanjang Januari-Agustus 2020, penerimaan PPh non-migas tercatat Rp 655,3 triliun atau anjlok 14,1% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Memburuk dibandingkan Januari-Juli yang turun 13,5%.
Struktur PPh Indonesia masih didominasi oleh Wajib Pajak Badan ketimbang Orang Pribadi. Jadi penurunan PPh menandakan setoran dari dunia usaha jauh berkurang, perlambang laba yang anjlok.
PPh Badan pada Januari-Agustus 2020 mengalami kontraksi -27,52% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jauh memburuk ketimbang Januari-Agustus yang masih bisa tumbuh 0,81%.
Pada Agustus saja, penerimaan PPh Badan terkontraksi -49,14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Memburuk ketimbang Juli yang terkontraksi -45,55%.
 Kementerian Keuangan |
"PPh Badan masih mengalami tekanan berat. Perusahaan mengalami tekanan yang luar biasa," tutur Sri Mulyani.
Mengutip dokumen Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 82,85% dari responden yang berjumlah 34.559 unit usaha mengaku mengalami penurunan pendapatan. Itu artinya delapan dari 10 perusahaan. Wow...
Menghadapi penurunan pendapatan yang entah sampai kapan, 'napas' dunia usaha semakin tipis. Sekitar 19% pelaku usaha memperkirakan mereka hanya bisa bertahan maksimal hingga tiga bulan ke depan.
Satu lagi yang perlu diperhatikan, lebih dari 45% pengusaha belum memikirkan rencana ekspansi selepas pandemi virus corona berakhir. Mau bagaimana lagi, lebih baik berpikir bertahan hidup dulu, tidak usah macam-macam.
Tanpa perluasan usaha, laba perusahaan akan stagnan bahkan mungkin menipis. Ini juga yang kemudian membuat penerimaan PPh ambles.
Ternyata tidak hanya dunia usaha, rumah tangga alias konsumen juga 'tiarap'. Ini terlihat dari penerimaan PPN yang anjlok.
PPN menggambarkan transaksi di perekonomian. Ketika setoran PPN berkurang, itu tandanya aktivitas transaksi alias jual-beli sedang sepi. Terjadi kelesuan, konsumen mengurangi belanja.
Pada Januari-Agustus 2020, penerimaan PPN (dan Pajak Penjualan untuk Barang Mewah/PPnBM) adalah Rp 255,4 triliun. Turun 11,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data lainnya memberi konfirmasi bahwa rumah tangga sedang menahan belanja. Bank Indonesia (BI) dalam Survei Konsumen mencatat, per Agustus 2020 konsumen Indonesia mengalokasikan 67,35% pendapatan untuk konsumsi. Memang masih dominan, tetapi angka tersebut adalah yang terendah sejak Januari 2019.
Lebih mengerikan lagi, adalah masyarakat kelas menengah yang mengurangi konsumsi. Porsi pendapatan yang dialokasikan untuk konsumsi di kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan (yang masuk kategori kelas menengah) pada Agustus 2020 adalah 64,82%. Angka ini di bawah kelompok pendapatan lainnya sekaligus menjadi yang terendah sejak Januari 2019.
Penerimaan PPh dan PPN yang ambrol memberi gambaran bahwa dunia usaha dan rumah tangga belum ekspansif. Oleh karena itu, tidak heran Sri Mulyani dan sejawat akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia bakal mengalami resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA