Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah mengubah perilaku manusia. Tidak hanya dalam aspek sosial kemasyarakatan, tetapi juga ekonomi.
Dari sisi sosial, wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini memaksa manusia untuk berjarak. Jangan sampai terlalu dekat, apalagi bergerombol. Sebab virus akan lebih cepat menyebar dalam kerumunan.
Untuk memastikan tidak terjadi kontak yang intens antar-manusia, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Beberapa bulan lalu, restoran, sekolah pusat perbelanjaan, lokasi wisata, rumah ibadah, sampai pabrik dan perkantoran yang tidak esensial ditutup. Tidak boleh ada aktivitas, semua #dirumahaja.
Sekarang memang sudah ada pelonggaran. Namun tetap saja restoran, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, transportasi umum, sampai kantor belum boleh terisi penuh. Ini dilakukan untuk menciptakan jarak antar-manusia.
Aktivitas masyarakat yang masih dibatasi otomatis membuat laju roda perekonomian terhambat. Produksi barang dan jasa belum bisa digeber ke kapasitas maksimal, masih ada batasan di sana-sini.
Akibatnya, lapangan kerja menyusut. Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menyebut jumlah penduduk Indonesia yang menganggur mencapai 16,5 juta orang.
"Sekarang jumlah pengangguran tambah hari tambah naik. Kita punya pengangguran sekarang 7 juta existing, angkatan kerja 2,5 juta, dan sekarang korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ada 7 juta. Jadi sekarang ada 16.500.000," ungkap Bahlil.
Masyarakat pun berpandangan serupa. Ini terlihat dari Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang merupakan bagian dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).
Pada Agustus 2020, nilai Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja ada di 35,2. Jauh di bawah 100 yang merupakan ambang optimisme. Saat ini rumah tangga di Indonesia masih pesimistis, khawatir apakah besok masih bisa bekerja atau tidak.
Dalam situasi mencekam seperti ini, masyarakat tentu memilih untuk mengamankan diri masing-masing. Bagi yang masih diberi karunia bisa mencari dan mendapat nafkah, porsi pendapatan yang dialokasikan ke tabungan ditingkatkan. Harus ada dana darurat, untuk berjaga-jaga kalau (amit-amit) bakal jadi korban PHK.
Pada Agustus 2020, konsumen mengalokasikan 20,42% pendapatan mereka untuk ditabung. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2018.
Peningkatan porsi pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan membuat pos lain menjadi berkurang. Contoh paling nyata adalah konsumsi.
Per Agustus 2020, konsumen Indonesia mengalokasikan 67,35% pendapatan untuk konsumsi. Memang masih dominan, tetapi angka tersebut adalah yang terendah sejak Januari 2019.
Lebih mengerikan lagi, adalah masyarakat kelas menengah yang mengurangi konsumsi. Porsi pendapatan yang dialokasikan untuk konsumsi di kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan (yang masuk kategori kelas menengah) pada Agustus 2020 adalah 64,82%. Angka ini di bawah kelompok pendapatan lainnya sekaligus menjadi yang terendah sejak Januari 2019.
Padahal kelas menengah adalah motor utama penggerak konsumsi domestik. Bank Dunia memperkirakan populasi kelas menengah di Tanah Air adalah 52 juta jiwa. Satu dari lima orang Indonesia berstatus kelas menengah.
Tanpa kelas menengah yang konsumtif, konsumsi rumah tangga akan sulit diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, ancaman resesi menjadi semakin pasti.
John Maynard Keynes, salah satu peletak dasar teori ekonomi makro, menelurkan konsep Paradox of Thrift atau Paradox of Saving. Konsep ini, peningkatan tabungan masyarakat justru berdampak negatif terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seperti resesi, masyarakat tentu berpandangan bahwa langkah terbaik adalah menabung. Ya itu tadi, Selamatkan Diri Masing-masing (SDM), harus berjaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti PHK.
Namun kalau uang masyarakat terkumpul di bank, maka tinggal sedikit yang tersisa untuk berputar di sektor riil. Pada akhirnya peningkatan jumlah tabungan menciptakan paradoks, yaitu membuat resesi menjadi semakin dalam. Semakin banyak pengusaha yang tumbang, semakin banyak pekerja yang menjadi korban PHK.
Menabung saat resesi mungkin adalah pilihan terbaik bagi orang per orang. Namun kalau semakin banyak orang berpikir dan melakukan hal yang sama, maka situasinya malah kian parah.
Biasanya ekonomi punya siklus yang bisa ditebak. Setelah periode boom selesai dan terjadi burst, bisa dihitung kira-kira butuh waktu berapa lama untuk pulih dan masuk ke fase boom lagi.
Akan tetapi kali ini beda. Krisis-krisis terdahulu pemicunya adalah fenomena di sektor keuangan, apakah itu krisis keuangan Asia, dotcom bubble, sampai krisis keuangan global. Mereka adalah fenomena ekonomi yang bisa dicari polanya sehingga bisa diprediksi kapan kebangkitan bakal terjadi.
Perlu dicatat bahwa krisis kali ini sejatinya adalah krisis kesehatan, serangan virus mematikan. Sepanjang si biang kerok itu masih bebas berkeliaran dan meminta 'tumbal' nyawa manusia, maka aktivitas publik tidak akan kembali normal seperti dulu lagi.
"Kapan resesi ini akan berakhir akan sangat ditentukan oleh perilaku. Rasa takut akan menggerakkan perilaku manusia. Saat ini, dan entah sampai kapan, masih ada ketakutan untuk berkunjung ke tempat-tempat di luar rumah. Mal sudah dibuka, promosi di mana-mana, tetapi pengunjung yang datang tidak banyak. Risiko tertular virus menciptakan keraguan untuk melakukan konsumsi," papar Diane Swonk, Kepala Ekonom Grant Thornton, seperti dikutip dari CNBC International.
So, kunci untuk lepas dari belenggu resesi adalah mengenyahkan virus corona. Vaksin, obat, atau berbagai metode pengobatan lain (misalnya plasma darah) diharapkan mampu menjadi juru selamat. Sebelum juru selamat itu datang, sepertinya masa-masa penuh keprihatinan harus dijalani dengan sabar dan tawakal...
TIM RISET CNBC INDONESIA