Jakarta, CNBC Indonesia - Bukan hanya wabah Covid-19 yang menjangkiti Indonesia, tetapi ada penyakit lain yang diderita oleh negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini yaitu inflasi yang rendah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia sudah mengalami deflasi dua bulan berturut-turut yaitu pada Juli (-0,1% mom) dan Agustus (-0,05% mom). Namun tampaknya deflasi masih akan berlanjut pada September.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu III September 2020, Bank Indonesia (BI) memperkirakan deflasi sebesar -0,01% (mom). Apabila perkiraan BI tersebut tepat, maka dalam satu kuartal penuh RI mengalami fenomena penurunan harga atau deflasi.
"Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi September 2020 secara tahun kalender sebesar 0,92% (ytd), dan secara tahunan sebesar 1,46% (yoy)." tulis BI dalam rilis di situs resminya.
Lebih lanjut, BI juga memperkirakan deflasi bulan September masih banyak disumbang oleh harga-harga bahan pangan seperti komoditas telur ayam ras sebesar -0,04% (mom), daging ayam ras sebesar -0,03% (mom), bawang merah sebesar -0,02% (mom), jeruk, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (mom).
Mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga-harga sembako tersebut memang mengalami penurunan. Di pasar tradisional Tanah Air, harga daging ayam, telur ayam serta bawang merah telah turun 5% sejak awal Agustus sampai dengan pekan kemarin.
Dalam komponen inflasi, harga bahan pangan tergolong ke dalam kelompok inflasi yang bergejolak. Bulan lalu, kelompok ini menyumbang andil deflasi sebesar -0,23% ketika di saat yang sama terjadi deflasi -0,05%.
Untuk komponen inflasi bergejolak pangan, banyak faktor yang mempengaruhi. Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, pasokan domestik atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.
Meski terjadi gejolak, konsumen cenderung akan tetap membeli barang-barang tersebut karena merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini berbeda dengan produk lainnya seperti barang tahan lama (durable goods) misalnya.
BPS mencatat inflasi bulan lalu secara year to date (ytd) sebesar 0,93% sementara secara year on year (yoy) 1,32%. Angka inflasi tersebut tergolong rendah mengingat sasaran target inflasi BI yang tertuang dalam PMK No. 124/PMK.010/2017 tanggal 18 September 2017 untuk tahun ini sebesar 3±1%.
Inflasi yang rendah sejatinya dapat dilihat dari berbagai kacamata seperti keberhasilan pemerintah mengontrol harga terutama untuk kebutuhan pokok, maupun penurunan permintaan akibat daya beli yang rendah.
Namun, fenomena inflasi yang rendah yang terjadi di dalam negeri lebih mengarah ke alasan kedua. Lemahnya daya beli masyarakat. Hal ini tercermin dari melambatnya inflasi inti.
Berbeda dengan komponen inflasi yang harganya diatur pemerintah maupun bergejolak (volatile), komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component).
Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Inflasi inti Indonesia terus mengalami perlambatan. Bahkan semakin signifikan ketika wabah Covid-19 merebak. Jika inflasi inti bulan Januari-April tahun ini masih mendekati angka 3%, komponen ini hanya terakselerasi 2% saja bulan lalu.
Sebagai negara dengan populasi lebih dari 269 juta jiwa, tulang punggung ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik. Namun tulang punggung ini keropos akibat daya beli yang bermasalah yang juga tercermin dari inflasi inti yang melambat signifikan.
Maraknya fenomena karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK di tengah PSBB, sudah menjadi cukup bukti bahwa pendapatan masyarakat Indonesia berkurang. Survei sosial demografi BPS menunjukkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia mengalami penurunan pendapatan.
Mengerikannya lagi, survei terbaru BPS terhadap lebih dari 30 ribu pelaku usaha menunjukkan bahwa 19% pengusaha hanya mampu bertahan selama tiga bulan saja terhitung sejak survei dilakukan pada Juli lalu.
Jika tidak ada perbaikan kondisi terutama dari sisi pandemi, PSBB masih terus dilakukan maka fenomena PHK akan semakin marak. Semakin tingginya kasus harian yang dilaporkan memang mengkhawatirkan.
Pengetatan pembatasan mobilitas publik bisa berakibat pada perlambatan pemulihan yang sempat terjadi saat PSBB dilonggarkan. Meski ada tanda-tanda perbaikan ekonomi dari sisi sentimen konsumen hingga permintaan di bulan Juni-Agustus, sesungguhnya ekonomi belum balik ke level sebelum pandemi.
Tengok saja indikator Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi BI yang walau sudah naik dari posisi terendah bulan Mei di 77,8 menjadi 86,9 bulan lalu, tetap saja di bawah 100 yang artinya konsumen masih cenderung pesimis dan menahan diri untuk berbelanja.
Perbaikan sentimen tersebut juga tercermin dari indikator lain seperti penjualan ritel maupun barang tahan lama seperti motor dan mobil. Penjualan eceran maupun barang tahan lama membaik meski masih berada di zona kontraksi.
BI mencatat pertumbuhan penjualan ritel bulan Juli mengalami kontraksi sebesar 12,3% (yoy), membaik dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan penurunan tajam sebesar 17,1% (yoy).
Penjualan motor dan mobil juga mengalami perbaikan meski masih terkontraksi. Data AISI menunjukkan penjualan motor bulan Juli terkontraksi 45% (yoy), membaik ketimbang Juni yang anjlok sampai 56% (yoy). Sementara untuk penjualan mobil kontraksi di bulan Juni & Juli masing-masing 79% (yoy) dan 72% (yoy).
"Dari data BPS memang kita juga bisa perhatikan konsumsi masyarakat itu memang sampai sekarang masih terfokus pada kebutuhan primer, sedangkan untuk kebutuhan sekunder dan tersier masih kelihatan di belakang mereka. Belum ada di pemikiran mereka untuk spending di kebutuhan sekunder dan tersier" kata kepala ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
Fakta Indonesia masuk jurang resesi memang tidak bisa dikesampingkan. Peluangnya sangat besar. Perbaikan indikator ekonomi di kuartal kedua memang menjadi hal yang bagus.
Namun ekonomi belum bisa baik ke level pra-pandemi. Kontraksi masih akan berlanjut ke kuartal ketiga meski dengan penurunan output yang lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya.
Soal resesi dan inflasi yang rendah (disinflasi) ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Survei Reuters yang dilakukan oleh Reuters terhadap 160 ekonom global memperkirakan bahwa warisan yang ditinggalkan oleh pandemi Covid-19 adalah pelemahan harga ketimbang inflasi yang tinggi secara global.
Survei tersebut juga mengindikasikan bahwa kekhawatiran seputar rusaknya rantai pasok global akibat pandemi yang berpotensi membuat harga melonjak telah beralih menjadi kecemasan akan penurunan permintaan seiring dengan fenomena PHK masal yang terjadi di seluruh dunia.
Selain sebagai gejala resesi, inflasi yang rendah juga membuat bank sentral global terutama seperti Eropa dan Jepang menjadi semakin pusing tak karuan, lantaran lama susah mencapai sasaran target inflasi yang diterapkan di tengah kebijakan suku bunga rendah bahkan sampai negatif.
Reuters melaporkan lebih dari 70% dari lebih 160 ekonom dari Asia hingga Eropa hingga Amerika dalam jajak pendapat terbaru mengatakan ancaman yang lebih besar begitu pandemi terkendali adalah harga yang lebih rendah. Proporsi itu juga secara kasar tersebar merata menurut wilayah.
"Setelah pandemi mereda, disinflasi adalah kekhawatiran yang lebih besar karena pandemi saat ini merupakan nenek moyang utama dari gesekan pasokan," kata Robert Carnell, kepala ekonom ING untuk Asia-Pasifik.
"Setiap lonjakan inflasi kemungkinan akan bersifat sementara dan hanya akan menyebabkan penurunan harga atau inflasi pada periode berikutnya." tambahnya, melansir Reuters.
Fenomena disinflasi yang tadinya hanya bersifat akut akibat adanya shock berupa pandemi, kini telah menjelma menjadi momok yang sangat menakutkan dan berpotensi menjadi penyakit kronis di seluruh dunia, tak terkecuali RI.
Jika fenomena disinflasi yang mencerminkan pelemahan permintaan ini terus berkepanjangan, maka resesi pun bakal terus menjadi setan yang bergentayangan. Resesi yang berkepanjangan disebut depresesi, mimpi buruk bagi seluruh rakyat.
TIM RISET CNBC INDONESIA