
Deflasi, Penyakit yang Bikin Resesi Bisa Menjadi Depresi

Sebagai negara dengan populasi lebih dari 269 juta jiwa, tulang punggung ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik. Namun tulang punggung ini keropos akibat daya beli yang bermasalah yang juga tercermin dari inflasi inti yang melambat signifikan.
Maraknya fenomena karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK di tengah PSBB, sudah menjadi cukup bukti bahwa pendapatan masyarakat Indonesia berkurang. Survei sosial demografi BPS menunjukkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia mengalami penurunan pendapatan.
Mengerikannya lagi, survei terbaru BPS terhadap lebih dari 30 ribu pelaku usaha menunjukkan bahwa 19% pengusaha hanya mampu bertahan selama tiga bulan saja terhitung sejak survei dilakukan pada Juli lalu.
Jika tidak ada perbaikan kondisi terutama dari sisi pandemi, PSBB masih terus dilakukan maka fenomena PHK akan semakin marak. Semakin tingginya kasus harian yang dilaporkan memang mengkhawatirkan.
Pengetatan pembatasan mobilitas publik bisa berakibat pada perlambatan pemulihan yang sempat terjadi saat PSBB dilonggarkan. Meski ada tanda-tanda perbaikan ekonomi dari sisi sentimen konsumen hingga permintaan di bulan Juni-Agustus, sesungguhnya ekonomi belum balik ke level sebelum pandemi.
Tengok saja indikator Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi BI yang walau sudah naik dari posisi terendah bulan Mei di 77,8 menjadi 86,9 bulan lalu, tetap saja di bawah 100 yang artinya konsumen masih cenderung pesimis dan menahan diri untuk berbelanja.
Perbaikan sentimen tersebut juga tercermin dari indikator lain seperti penjualan ritel maupun barang tahan lama seperti motor dan mobil. Penjualan eceran maupun barang tahan lama membaik meski masih berada di zona kontraksi.
BI mencatat pertumbuhan penjualan ritel bulan Juli mengalami kontraksi sebesar 12,3% (yoy), membaik dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan penurunan tajam sebesar 17,1% (yoy).
Penjualan motor dan mobil juga mengalami perbaikan meski masih terkontraksi. Data AISI menunjukkan penjualan motor bulan Juli terkontraksi 45% (yoy), membaik ketimbang Juni yang anjlok sampai 56% (yoy). Sementara untuk penjualan mobil kontraksi di bulan Juni & Juli masing-masing 79% (yoy) dan 72% (yoy).
"Dari data BPS memang kita juga bisa perhatikan konsumsi masyarakat itu memang sampai sekarang masih terfokus pada kebutuhan primer, sedangkan untuk kebutuhan sekunder dan tersier masih kelihatan di belakang mereka. Belum ada di pemikiran mereka untuk spending di kebutuhan sekunder dan tersier" kata kepala ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
Fakta Indonesia masuk jurang resesi memang tidak bisa dikesampingkan. Peluangnya sangat besar. Perbaikan indikator ekonomi di kuartal kedua memang menjadi hal yang bagus.
Namun ekonomi belum bisa baik ke level pra-pandemi. Kontraksi masih akan berlanjut ke kuartal ketiga meski dengan penurunan output yang lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya.
(twg/twg)