
Satu Lagi Tanda RI Bakal Resesi: Penjualan Ritel Jeblok!

Sebelumnya, penjualan ritel yang lesu sudah terlihat dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN menggambarkan transaksi yang terjadi di masyarakat, karena setiap transaksi wajib kena PPN sebesar 10%. Kalau penerimaan PPN turun, maka artinya transaksi kurang semarak, termasuk penjualan ritel.
Pada Januari-Juli 2020, penerimaan PPN (dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah/PPnBM) tercatat Rp 219,49 triliun. Anjlok nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka yang seolah bak cermin dibelah dua dengan kontraksi penjualan ritel.
Berbagai data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang coba diredam dengan pembatasan sosial (social distancing) membuat aktivitas ekonomi seolah mati suri, baik di sisi produksi maupun permintaan.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi seperti pada kuartal II-2020.
Oleh karena itu, kemungkinan PDB Indonesia masih akan negatif pada kuartal III-2020. Dengan begitu, Indonesia akan membukukan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi dari resesi.
Semakin hari sepertinya peluang terjadinya resesi di Ibu Pertiwi kian mendekati kepastian. Kalau resesi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tugas dari para pembuat kebijakan agar resesi itu tidak dalam dan lama. Sebab kalau resesi terlampau dalam dan lama, itu namanya depresi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]