
Kelas Menengah Ogah Belanja, RI Susah Menghindari Resesi

Jadi, akar permasalahan mengapa kelas menengah enggan berbelanja adalah ketidakpastian soal penghasilan dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang gelombang PHK belum berakhir, maka jangan harap kelas menengah rela mengeluarkan uang untuk berbelanja.
Ini yang sulit. Pandemi virus corona telah memukul ekonomi di dua sisi sekaligus. Pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat aktivitas ekonomi mati suri, baik di sisi permintaan maupun produksi.
Memang betul pemerintah sudah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak Juni. Namun belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi, masih ada pembatasan di sana-sini.
Misalnya di DKI Jakarta, restoran, pusat perbelanjaan, perkantoran, sampai lokasi wisata sudah boleh dibuka kembali dalam payung PSBB Transisi. Akan tetapi pengunjung dibatasi maksimal 50% dan harus patuh protokol kesehatan.
Dalam skala ekonomi yang belum optimal ini, dunia usaha tentu tidak bisa menggunakan tenaga kerja sebanyak dulu. Harus ada efisiensi, adaptasi, menyesuaikan dengan skala yang ada saat ini. Oleh karena itu, mungkin sebagian dari mereka yang menjadi korban PHK akan sulit tertampung kembali sepanjang situasi belum normal lagi.
Jadi jangan salahkan kelas menengah yang memilih untuk menabung ketimbang konsumsi. Lebih baik selamatkan diri dan keluarga masing-masing, karena tidak ada yang tahu apakah besok masih bisa bekerja atau tidak.
Ketika kelas menengah, sang juru selamat konsumsi rumah tangga, masih menahan diri, maka jangan harap ekonomi bisa tumbuh seperti dulu lagi. Pertumbuhan negatif alias kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sebuah keniscayaan.
"Kunci utama adalah konsumsi dan investasi. Kalau tetap negatif, meski pemerintah sudah all out, maka akan sulit masuk netral. Tidak bisa (PDB) mendekati 0% dan bisa negatif kalau kelas menengah dan atas belum recovery," ungkap Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.
Pada kuartal II-2020, Indonesia sudah mencatatkan kontraksi PDB sebesar 5,32% year-on-year (YoY). Kalau kuartal III-2020 ada kontraksi lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi. Sepertinya peluang ke sana sangat besar sepanjang kelas menengah masih 'tiarap'.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)[Gambas:Video CNBC]