
RI (Mungkin) Resesi, Tapi Amit-amit Kalau Sampai Depresi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun tulang punggung itu sekarang sangat keropos.
Data terbaru kembali memberi konfirmasi bahwa rumah tangga masih 'tiarap'. Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Agustus 2020 berada di 86,9. Naik sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 86,2.
IKK menggunakan angka 100 sebagai awalan. Kalau masih di bawah 100, maka artinya konsumen masih pesimistis memandang situasi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan.
Sudah lima bulan berturut-turut IKK berada di bawah 100. Sejak menyentuh titik terendah sejak 2005 pada Maret lalu, IKK memang berangsur-angsur membaik. Namun belum juga menyentuh (apalagi melebihi) 100.
IKK dibagi menjadi dua sub-indeks besar yaitu Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE, yang melambangkan pandangan rumah tangga terhadap kondisi perekonomian terkini, masih lemah karena masih di bawah 100.
IKE dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama. Ketiganya masih di bawah 100.
Pandemi virus corona benar-benar memukul perekonomian Tanah Air. Pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat aktivitas ekonomi mati suri, baik di sisi permintaan maupun produksi.
Memang betul pemerintah sudah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak Juni. Namun belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi, masih ada pembatasan di sana-sini.
Misalnya di DKI Jakarta, restoran, pusat perbelanjaan, perkantoran, sampai lokasi wisata sudah boleh dibuka kembali dalam payung PSBB Transisi. Akan tetapi pengunjung dibatasi maksimal 50% dan harus patuh protokol kesehatan.
Ini membuat skala ekonomi belum optimal, masih separuh dari normal. Jadi jangan heran kalau Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja masih sangat jauh di bawah 100, bahkan 50 pun belum. Ketika ketersediaan lapangan kerja penuh ketidakpastian, persepsi akan penghasilan dan keinginan membeli barang tahan lama ikut terhambat.
Oleh karena itu, akan sangat sulit berharap konsumsi rumah tangga bisa menopang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020. Padahal konsumsi rumah tangga begitu dominan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.Kelesuan konsumsi rumah tangga membuat peluang terjadinya kontraksi (pertumbuhan negatif) PDB pada kuartal III-2020 semakin tinggi.
Pada kuartal sebelumnya, Indonesia sudah mencatatkan kontraksi PDB sebesar 5,32% year-on-year (YoY). Kalau kuartal III-2020 ada kontraksi lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi.
Rilis data survei konsumen hari ini menjadi penting. Sebab, data ini bisa memberi gambaran lebih lanjut seberapa besar peluang Indonesia mengalami resesi.
Kali terakhir Indonesia mengalami resesi adalah pada 1999, sudah lebih dari 20 tahun lalu. Tidak heran kepastian apakah Indonesia bakal resesi atau tidak menjadi sorotan publik.
"Kalau tetangga Anda kehilangan pekerjaan, itu namanya resesi. Namun kalau Anda yang kehilangan pekerjaan, itu depresi."
Kutipan itu datang dari Harry S Truman, Presiden AS ke-33 yang menjabat pada 1945-1953. Truman menggambarkan bahwa skala resesi tidak ada apa-apanya ketimbang depresi. Saat depresi menghampiri, maka yang namanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan sangat masif sehingga Anda dan tetangga Anda menjadi korban.
Oke, mungkin Indonesia hampir mustahil menghindar dari jurang resesi. Sekarang kita perlu move on ke pertanyaan selanjutnya, apakah resesi itu bisa 'naik pangkat' jadi depresi?
Ada banyak literatur yang memberi definisi depresi. Namun intinya ada dua syarat utama sebuah negara sah disebut depresi yaitu:
- Kontraksi PDB lebih dari 10%.
- Resesi bertahan selama dua tahun atau lebih.
Pada kuartal II-2020 ekonomi Indonesia memang terkontraksi, dan sangat mungkin terulang pada kuartal berikutnya. Namun kalau kontraksinya sampai lebih dari 10%, rasanya kok tidak.
Pemerintah memperkirakan kontraksi ekonomi nasional pada kuartal III-2020 paling mentok 2% YoY. Sementara Mirae Asset punya proyeksi kontraksi PDB sebesar 1,08% YoY.
![]() |
"Kami mengubah proyeksi PDB 2020 dari 0,52% menjadi -0,61% PDB. Sementara proyeksi untuk 2021 masih 4,15%," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.
Jadi, sepertinya Indonesia tidak akan mengalami kontraksi PDB sampai 10%, apalagi lebih. Resesi juga kemungkinan tidak akan bertahan sampai dua tahun, karena pada 2021 ekonomi bisa kembali tumbuh positif.
Well, resesi memang buruk. Resesi menggambarkan jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Buat Indonesia, kabar baiknya adalah resesi yang terjadi tidak terlampau dalam dan lama sehingga menyebabkan depresi. Namun bukan berarti Indonesia bisa berleha-leha, karena para pembuat kebijakan punya tugas besar untuk membuat jutaan rakyat kembali bekerja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Keyakinan Konsumen RI Membaik, Tapi Belum Pede Betul
