
RI (Mungkin) Resesi, Tapi Amit-amit Kalau Sampai Depresi!

Pandemi virus corona benar-benar memukul perekonomian Tanah Air. Pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat aktivitas ekonomi mati suri, baik di sisi permintaan maupun produksi.
Memang betul pemerintah sudah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak Juni. Namun belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi, masih ada pembatasan di sana-sini.
Misalnya di DKI Jakarta, restoran, pusat perbelanjaan, perkantoran, sampai lokasi wisata sudah boleh dibuka kembali dalam payung PSBB Transisi. Akan tetapi pengunjung dibatasi maksimal 50% dan harus patuh protokol kesehatan.
Ini membuat skala ekonomi belum optimal, masih separuh dari normal. Jadi jangan heran kalau Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja masih sangat jauh di bawah 100, bahkan 50 pun belum. Ketika ketersediaan lapangan kerja penuh ketidakpastian, persepsi akan penghasilan dan keinginan membeli barang tahan lama ikut terhambat.
Oleh karena itu, akan sangat sulit berharap konsumsi rumah tangga bisa menopang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020. Padahal konsumsi rumah tangga begitu dominan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.Kelesuan konsumsi rumah tangga membuat peluang terjadinya kontraksi (pertumbuhan negatif) PDB pada kuartal III-2020 semakin tinggi.
Pada kuartal sebelumnya, Indonesia sudah mencatatkan kontraksi PDB sebesar 5,32% year-on-year (YoY). Kalau kuartal III-2020 ada kontraksi lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi.
Rilis data survei konsumen hari ini menjadi penting. Sebab, data ini bisa memberi gambaran lebih lanjut seberapa besar peluang Indonesia mengalami resesi.
Kali terakhir Indonesia mengalami resesi adalah pada 1999, sudah lebih dari 20 tahun lalu. Tidak heran kepastian apakah Indonesia bakal resesi atau tidak menjadi sorotan publik.
