Sempat 'Kejar-kejaran' Pakai F-16, Turki-Yunani Mau Damai?

Thea Fathanah Abrar, CNBC Indonesia
05 September 2020 20:20
F16 Yunani (ASSOCIATED PRESS/Dimitris Manakanatas)
Foto: F16 Yunani (ASSOCIATED PRESS/Dimitris Manakanatas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi Turki dan Yunani di laut Mediterania Timur kian memanas. Kedua negara terlibat konflik di Laut Mediterania Timur, memperebutkan sumber daya minyak dan gas di dalam perairan itu.

Setelah muncul serangkaian konflik, sampai "kejar-kejaran" antara pesawat F-16 Turki dan F-16 Yunani akhir pekan lalu, kedua negara dikabarkan mencoba memulai pembicaraan. Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jens Stoltenberg pada Jumat (4/9/2020).

Stoltenberg mengatakan bahwa Yunani dan Turki, yang sama-sama anggota NATO, telah memulai pembicaraan teknis, tetapi mereka belum menyetujui kesepakatan untuk menghindari bentrokan yang tidak disengaja di Mediterania Timur.

Stoltenberg mengatakan para pemimpin Yunani dan Turki "setuju untuk mengadakan pembicaraan teknis di NATO untuk menetapkan mekanisme de-konflik militer guna mengurangi resiko insiden dan kecelakaan".

Tetapi sehari sebelumnya, pada Kamis (3/9/2020) malam, Yunani mengatakan bahwa Athena tidak pernah menyetujui pembicaraan teknis, mengklaim pernyataan Stoltenberg tidak "sesuai dengan kenyataan".

Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis mengatakan bahwa negaranya hanya akan memulai pembicaraan dengan Turki untuk menyelesaikan klaim yang saling bertentangan setelah Turki berhenti memprovokasi.

"(Negara kami) dapat dan ingin membahas demarkasi zona maritim di Laut Aegea, di Mediterania Timur, berdasarkan hukum internasional. Tapi tidak di bawah ancaman," kata Mitsotakis dalam pertemuan dengan diplomat tinggi China Yang Jiechi, yang sedang mengunjungi Athena.

"Begitu provokasi berakhir, diskusi akan dimulai," katanya, seraya menambahkan bahwa menteri luar negeri Yunani akan mengirimkan surat darinya yang menguraikan kasus Athena kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres ketika keduanya bertemu di New York pada Jumat lalu.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan Yunani, pada kenyataannya, menyetujui proposal tersebut ketika dibuat.

"Yunani membantah (pernyataan) sekretaris jenderal tetapi yang berbohong disini bukanlah sekretaris jenderal NATO, itu Yunani sendiri," kataCavusoglu kepada wartawan di Ankara, dikutip dari Al Jazeera. "Yunani menunjukkan sekali lebih dari itu tidak mendukung dialog."

Turki juga menuduh Yunani menghindari dialog dan berbohong dengan menyangkal telah menandatangani pembicaraan yang ditengahi NATO.

Ketegangan antara Turki dan Yunani bermula di Laut Mediterania Timur. Kedua negara panas karena kekayaan alam yakni minyak dan gas bumi di perairan tersebut.

Dalam laporan US Geological Survey, Laut Mediterania Timur memiliki cadangan minyak 1,7 miliar barel. Sementara gas 3,5 triliun meter kubik. Turki mengirimkan kapal penelitiannya Oruc Reis sejak 10 Agustus.

Turki, yang memang tengah gencar mencari sumber energi, mengerahkan kapal penelitian di dekat Pulau Kreta. Hal ini dilakukan sejak 10 Agustus lalu hingga kini. Kapal tersebut juga didampingi Angkatan Laut negeri itu.

Yunani yang berang menganggap Turki masuk wilayahnya. Bahkan negara itu menanggapi Turki dengan meratifikasi perjanjian maritim dengan Mesir. Yunani menilai area eksplorasi Turki, berada di teritorinya.

"Sekali lagi diperlihatkan siapa yang menginginkan de-eskalasi dan siapa yang tidak," kata seorang sumber diplomatik.

Turki memberi pembelaan. "Kami bertekad untuk melindungi hak-hak kami," kata Menteri Pertahanan Turki, Hulusi Akar, dikutip dari AFP.

Eskalasi kedua anggota NATO ini dikhawatirkan membahayakan Eropa ke simpanan energi baru dengan jumlah yang cukup besar.

Keduanya juga mengancam untuk melibatkan Libya yang dilanda perang dan negara-negara lain di Timur Tengah. Tidak ada pihak yang tampak siap untuk mundur dari konflik di perairan Mediterania yang, sehingga melibatkan banyak angkatan laut dari kekuatan Eropa serta Amerika Serikat.

Terbaru Uni Eropa (UE) di mana Yunani bergabung disebut sedang mempersiapkan sanksi terhadap Turki. Rencana sanksi akan diputuskan akhir akhir September mendatang.

Dikutip dari Middle East Eye, Perwakilan Eropa Josep Borrell menyebut langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk membatasi kemampuan Turki untuk mengeksplorasi gas alam di perairan yang Mediterania. Karena dianggap dapat mempengaruhi individu, kapal, atau penggunaan pelabuhan Eropa.

Sebelumnya sebuah fregat Yunani sempat bertabrakan dengan satu kapal Turki pada Agustus, hingga kedua negara anggota NATO itu melakukan latihan perang saingan di perairan yang disengketakan pekan lalu.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular