Ekonomi Era Pandemi: AS -9%, Swiss Resesi, Meksiko Depresi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 August 2020 06:38
Ilustrasi Dollar
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini sejumlah negara kembali mengumumkan data output perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2020. Ada yang merupakan pembacaan kedua, ada pula yang angka baru.

Negara yang paling jadi sorotan tentu Amerika Serikat (AS) karena statusnya sebagai perekonomian terbesar di planet bumi. Pada pembacaan pertama, US Bureau of Economic Analysis mengumumkan PDB Negeri Paman Sam terkontraksi (tumbuh negatif) -9,5% pada kuartal II-2020 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Kemarin malam waktu Indonesia, lembaga itu mengumumkan angka pembacaan kedua. Hasilnya, ekonomi AS menyusut 9,1% YoY.

Meski membaik dibandingkan rilis pertama, tetapi angka -9,5% bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Sebab ini menjadi catatan terburuk sejak 1932, saat AS tengah bergumul dengan Depresi Besar (Great Depression).

AS beruntung karena belum resmi masuk ke zona resesi. Sebab pada kuartal I-2020 ekonomi Negeri Adidaya masih bisa tumbuh walau alakadarnya.

Penentuan akan terjadi pada kuartal III-2020, kalau negatif lagi seperti kuartal sebelumnya maka AS masuk jurang resesi. Definisi resesi secara umum adalah dua kontraksi ekonomi secara beruntun.

Kemungkinan AS masih mampu menghindari resesi, karena pada periode Juli-September 2020 ada peluang PDB kembali tumbuh positif. Laman GDPNow keluaran Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Atlanta memberi perkiraan ekonomi akan tumbuh 25,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized).

Ketika AS masih bisa bernapas lega, tidak demikian dengan Meksiko sang tetangga. Pada kuartal II-2020, angka pembacaan kedua terhadap PDB Negeri Sombrero menghasilkan angka -18,7% YoY. Sedikit membaik ketimbang pembacaan awal yakni -18.9% YoY.

Pada kuartal I-2020, ekonomi Meksiko sudah terkontraksi -1,33%. Artinya, Meksiko sudah sah masuk zona resesi.

Namun ternyata kontraksi ekonomi Meksiko tidak hanya terjadi dua kuartal beruntun, tetapi lima! So, apakah resesi di Meksiko sudah 'naik pangkat' menjadi depresi?

Memang tidak ada definisi pasti soal depresi. Namun yang jelas berbagai literatur menggambarkan bahwa depresi adalah kontraksi ekonomi yang terjadi selama bertahun-tahun. Tidak hanya itu, depresi juga dicerminkan oleh lonjakan angka pengangguran.

Lima kuartal memang sudah lebih dari setahun, tetapi belum sampai dua. Jadi kontraksi ekonomi di Meksiko belum sampai bertahun-tahun, baru setahun lebih sedikit.

Selain itu, angka pengangguran Meksiko juga belum terlihat mengalami lonjakan. Angka pengangguran sempat menyentuh 4,7% pada April, tertinggi sejak September 2014. Namun sebulan kemudian turun lagi ke 4,2%.

Jadi, Meksiko rasanya belum pantas disebut depresi. Namun yang jelas Negeri Maria Mercedes semakin dalam terisap di lumpur resesi.

Negara yang baru mengumumkan angka PDB kuartal II-2020 adalah Swiss. Pada kuartal II-2020, ekonomi Swiss mengkerut 9,4% YoY. Ini menjadi kontraksi ekonomi terdalam setidaknya sejak 1966.

Swiss juga menjadi anggota baru 'klub' resesi. Ditambah Swiss, sekarang sudah ada 23 negara yang sah dan meyakinkan mengalami resesi.

Saat ini seluruh negara di kolong langit sedang menjalani masa prihatin. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah mengobrak-abrik kehidupan umat manusia.

Virus yang awalnya menebar teror di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam sekira tujuh bulan, lebih dari 20 juta orang sudah terjangkit dan ratusan ribu di antaranya meninggal dunia.

Kali terakhir pandemi berskala global terjadi pada awal abad ke-20 dalam wujud flu Spanyol. Seratus tahun kemudian, orang-orang yang kini menjadi para pemimpin dunia tidak punya pengalaman menghadapi wabah semasif ini.

Oleh karena itu, pagebluk virus corona sering disebut unprecedented, belum ada preseden sebelumnya yang bisa dijadikan pembelajaran. Namun yang jelas penyebaran virus corona bisa ditekan dengan cara membatasi interaksi dan kontak-antar manusia.

Seperti influenza, virus corona lebih mudah menyebar ketika berada di lingkungan penuh manusia dalam jarak dekat, apalagi di ruangan tertutup. Oleh karena itu, kebijakan yang dikedepankan dalam menghadapi pandemi ini adalah pembatasan sosial alias social distancing. Sebisa mungkin warga jangan sampai melakukan kontak jarak dekat, apalagi membuat kerumunan.

Atas nama pembatasan sosial, warga diminta (bahkan diperintahkan) untuk #dirumahaja. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Sebab sekolah, perkantoran, pabrik, rumah ibadah, restoran, pusat perbelanjaan, pintu masuk antar-negara, sampai tempat wisata ditutup.

Situasi ini terjadi selama berbulan-bulan. Dana Moneter Internasional (IMF) punya sebutan untuk kondisi ini The Great Lockdown. Manusia 'terpenjara' di rumah, pemandangan bak kota mati terjadi di mana-mana.

Mobilitas masyarakat yang turun drastis terlihat dari permintaan bahan bakar. Menurut proyeksi International Energy Agency (IEA) yang berbasis di Paris, permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) berbagai jenis turun tajam tahun ini.

eiaReuters

Pergerakan masyarakat yang terbatas tentu membuat roda ekonomi berputar sangat pelan, bahkan mungkin berhenti sama sekali. Produksi terhambat karena pabrik-pabrik ditutup, permintaan pun berkurang karena bagaimana bisa meningkat kalau orang-orang banyak gegoleran di rumah?

Produksi yang permintaan yang turun membuat agregat ekonomi menyusut. Hasilnya dicerminkan oleh angka PDB yang tumbuh negatif. IMF memperkirakan PDB dunia tahun ini terkontraksi -4,9%, terendah sejak era Depresi Besar.

Kelesuan produksi dan permintaan menimbulkan masalah lain: tsunami pengangguran. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda berbagai negara.

Di negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), angka pengangguran pada akhir 2020 diperkirakan mencapai hampir 10%, bahkan bisa mencapai lebih dari 12% dalam skenario terburuk. Melonjak dibandingkan 2019 yang sebesar 5,3%.

Selama virus corona belum bisa ditaklukkan, risiko yang amat besar masih menggelayuti perekonomian dunia. Selain ada risiko pemerintah kembali 'mengunci' aktivitas warga, masyarakat sendiri tentu khawatir untuk berkegiatan sepanjang masih ada virus mematikan bergentayangan di luar sana.

Corona nan durjana, kapan engkau binasa...?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular