Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar brutal. Selain memakan korban jiwa, virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini juga menyebabkan korban lainnya: ekonomi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 16 Agustus 2020 adalah 21.294.845 orang. Dari jumlah tersebut. Sebanyak 761.779 orang di antaranya tutup usia.
Dibandingkan dengan sindrom pernapasan akut (SARS) yang menyebar pada awal dekade 2000-an, penyebaran virus corona jauh lebih cepat dan luas. Berdasarkan catatan WHO, pandemi SARS berlangsung sekira enam bulan. Saat catatan WHO selesai pada 7 Agustus 2003, jumlah pasien positif SARS adalah 8.422 orang. Dibandingkan dengan corona tentu bak bumi dan langit.
Perbedaan lain antara Covid-19 dan SARS adalah jangkauannya. Penyebaran SARS lebih terpusat di Asia Timur, sedangkan virus corona 'membobol' lebih dari 200 negara dan teritori di seluruh dunia.
WHO kemudian menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global. Belum pernah dunia menghadapi wabah yang sebegini parah sejak pagebluk flu Spanyol pada awal abad ke-20.
Ketiadaan pengalaman dalam menghadapi pandemi dengan skala semasif ini membuat para pemimpin dunia pusing tujuh keliling. Oleh karena itu, wajar jika langkah yang dipilih tergolong ekstrem yaitu pembatasan sosial (social distancing).
Mengingat virus corona mudah menyebar jika jarak antar-manusia semakin dekat, maka jarak itu dilebarkan. Caranya adalah dengan membatasi aktivitas masyarakat agar interaksi dan kontak bisa ditekan serendah mungkin. Diam di rumah, #stayathome, #dirumahaja. Sekolah dan perkantoran libur, pabrik dan pertokoan tutup, lokasi wisata nir pengunjung, dan sebagainya.
Nah, di bagian ini ekonomi mulai jadi korban. Saat warga dunia lebih banyak rebahan di rumah, roda ekonomi seakan berhenti berputar. Dunia usaha berjatuhan karena nyaris tidak ada permintaan, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda seluruh negara.
Pandemi virus corona telah memukul dua sisi perekonomian sekaligus, penawaran dan permintaan. Oleh karena itu, agregat ekonomi yang dicerminkan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) menyusut. Pertumbuhan negatif alias kontraksi terjadi di mana-mana.
Teranyar, kemarin Jepang dan Thailand telah merilis data PDB kuartal II-2020. Hasilnya boleh dikata mengerikan.
Pada kuartal II-2020, ekonomi Jepang terkontraksi -7,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jauh lebih dalam ketimbang kontraksi pada kuartal sebelumnya yaitu -0,62% YoY sekaligus menjadi yang terparah sejak 1979.
Ekonomi Negeri Sakura sudah berada di teritori negatif sejak kuartal IV-2019. Jadi Jepang bukan hanya resesi, tetapi terisap lebih dalam di lumpur resesi.
Sementara pada April-Juni 2020, PDB Thailand terkontraksi -12,2% YoY. Jauh lebih dalam ketimbang kontraksi kuartal sebelumnya yang sebesar -2% YoY.
Kontraksi sudah terjadi dalam dua kuartal beruntun, sehingga Thailand secara sah dan meyakinkan masuk zona resesi. Ini menjadi resesi pertama sejak 2009.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Jepang dan Thailand adalah contoh terbaru. Sebelumnya ekonomi berbagai negara sudah jatuh bergelimpangan. Mau negara paling kaya sampai yang paling miskin sudah jatuh ke kontraksi, bahkan resesi.
Bahkan hampir seluruh negara anggota G20 merasakan kontraksi ekonomi pada kuartal II-2020. Sejauh ini hanya China yang bisa selamat, dengan pertumbuhan ekonomi 3,2% YoY. Sisanya? Tidak selamat.
Di antara negara-negara G20, sepertinya Kanada jadi yang paling merana. Negeri Daun Maple memang belum mengumumkan data PDB kuartal II-2020, tetapi Trading Economics memberi proyeksi -38%. Kalau sampai terwujud, maka akan menjadi catatan terburuk sepanjang sejarah modern Kanada.
Bagaimana dengan Indonesia, yang juga anggota G20? Ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi 5,32% YoY pada kuartal II-2020, terendah sejak 1999.
Namun pencapaian ini ternyata tidak jelek-jelek amat. Di level G20, Indonesia menempati urutan ketiga, hanya kalah dari China dan Korea Selatan.
Kontraksi ekonomi -5,32% memang sesuatu yang tidak bisa disyukuri sama sekali. Namun kalau melihat rumput tetangga yang kering-kerontang, mungkin boleh lah kita mengucap sedikit syukur...
TIM RISET CNBC INDONESIA