Jepang Memang Resesi, Tapi Bukan Berarti Tak Ada Kabar Baik

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 August 2020 10:50
Mata Uang Yen.
Ilustrasi Yen Jepang (REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Files)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diduga, ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan negatif (kontraksi) yang sangat dalam pada kuartal II-2020. Namun ada harapan ekonomi Negeri Matahari Terbit mampu bangkit dalam bulan-bulan ke depan.

Pada kuartal II-2020, ekonomi Jepang terkontraksi -7,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jauh lebih dalam ketimbang kontraksi pada kuartal sebelumnya yaitu -0,62% YoY sekaligus menjadi yang terparah sejak 1979.

Sedangkan secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), ekonomi Jepang menyusut -27,8%. Ini menjadi kontraksi paling dalam sepanjang sejarah modern Jepang.

Ekonomi Negeri Sakura sudah berada di teritori negatif sejak kuartal IV-2019. Jadi Jepang bukan hanya resesi, tetapi terisap lebih dalam di lumpur resesi.

Adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang membuat ekonomi Jepang sampai begini rupa. Maaf, sebenarnya bukan virus corona, tetapi cara untuk menanggulanginya.

Seperti halnya di negara-negara lain, Jepang mencoba meredam penyebaran virus yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut dengan pembatasan sosial (social distancing). Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe menetapkan kondisi darurat nasional pada pertengahan Mei. Awalnya kondisi darurat nasional hanya berlaku di tujuh perfektur. Namun kemudian diperluas menjadi skala nasional.

Melalui kebijakan ini, pemerintah meminta masyarakat sebisa mungkin untuk #dirumahaja. Bukan apa-apa, penularan virus memang menjadi jauh lebih mudah saat terjadi peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar manusia.

Kondisi darurat nasional berlaku selama sekitar sebulan, baru dicabut pada 25 Mei. Langkah ini ditempuh setelah ada sinyal penyebaran virus mulai melambat.

Sebelum darurat nasional, rata-rata pasien positif corona bertambah 9,78% per hari. Setelah pemberlakuan darurat nasional, lajunya jauh melambat menjadi 1,82% per hari.

"Saya telah membuat penilaian bahwa negeri ini sudah memenuhi standar untuk mencabut status darurat nasional. Model penanganan corona di Jepang telah menunjukkan kekuatannya," tegas Abe kala itu, seperti dikutip dari Japan Times.

Sejak pencabutan status darurat nasional, ekonomi Jepang (seperti negara lain) memasuki era baru yaitu the new normal. Masyarakat sudah boleh kembali beraktivitas tetapi tetap ada batasan protokol kesehatan.

Perlahan tetapi pasti, roda ekonomi Jepang yang sempat berhenti berputar kembali bergerak. Sejumlah data ekonomi memberi konfirmasi bahwa terjadi pemulihan.

Indeks leading indicator (yang merangkum pembukaan lowongan kerja, keyakinan konsumen, optimisme dunia usaha, dan sebagainya) berada di angka 85 pada Juni. Meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 78,3 dan menjadi yang tertinggi sejak Februari.

Leading indicator memberi gambaran terhadap arah perekonomian dalam beberapa bulan ke depan. Jadi kalau angkanya terus membaik, maka ada harapan dunia usaha dan rumah tangga akan mulai melakukan ekspansi.

Dari sisi dunia usaha, deflasi di tingkat produsen semakin tergerus. Pada Juli, inflasi produsen tercatat -0,9% YoY. Meski masih ada deflasi, tetapi menjadi yang paling landai sejak Februari.

Kemudian dari sisi konsumen, pengeluaran rumah tangga pada Juni memang masih turun -1,2% YoY. Namun ini menjadi kontraksi yang paling tipis sejak Februari.

Ekspansi dunia usaha dan rumah tangga didukung oleh pembiayaan dari perbankan yang memadai. Pada Juli, penyaluran kredit perbankan tumbuh 6,3% YoY. Ini menjadi rekor tertinggi dalam sejarah.

Jadi, sepertinya Jepang sudah melalui badai yang terburuk. Ke depan, kalau semua lancar dan tidak ada yang aneh-aneh, sangat mungkin Jepang mampu bangkit dengan relatif cepat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jepang Resesi, RI Segera Mengikuti...?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular