
Dari Beras sampai Kedelai, RI Masih Saja Impor

Pertama beras. Produksi padi pada 2019 tercatat 54,6 juta ton. Turun 7,76% dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi catatan terendah sejak 2006.
Dikonversi menjadi beras, maka produksi beras tahun lalu adalah 31,31 juta ton. Turun 7,75% dibandingkan 2018.
Sebenarnya neraca beras nasional masih surplus karena tahun lalu konsumsi nasional adalah 29,6 juta ton. Namun masih ada kebutuhan untuk impor, utamanya beras jenis premium.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras sepanjang 2019 adalah 444.508.791 kg. Beras impor kebanyakan didatangkan dari Myanmar (166.700.625 kg) dan Pakistan (182.564.850 kg).
Kemudian jagung. Tahun lalu, impor jagung manis (mentah maupun direbus) adalah 1.065.275 kg. Naik 12,43% dibandingkan 2018.
Terakhir kedelai. Impor kedelai pada 2018 tercatat sebanyak 2.585.809.099 kg, setahun berikutnya naik menjadi 2.670.086.435 kg.
Neraca kedelai nasional memang berat sebelah. Permintaan selalu di atas 2 juta ton, tetapi produksi tertahan di kisaran 1 juta ton. Jadi selisihnya mesti didatangkan dari impor.
Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia, memberi pesan mendalam soal pangan. Dalam momentum peletakan batu pertama kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952, sang proklamator menegaskan bahwa urusan pangan tidak boleh main-main karena menyangkut nyawa rakyat.
"Soal persediaan makanan rakyat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan. Kalau tidak, kita akan mengalami celaka," tegas Bung Karno kala itu.
Oleh karena itu, kedaulatan pangan harus disamakan dengan status Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harga mati, jangan ditawar lagi. Dengan kondisi sekarang, dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan harga mati tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)[Gambas:Video CNBC]
