
Dari Beras sampai Kedelai, RI Masih Saja Impor

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemerdekaan adalah kedaulatan. Berdaulat untuk mengurus urusan sendiri tanpa harus meminta restu dari pihak lain.
Kedaulatan juga harus mewujud kepada kemampuan untuk berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Kalau apa-apa masih meminta dukungan dari luar rumah, ya berarti boleh dikata belum berdaulat sepenuhnya.
Inilah hal yang harus kita renungi dalam peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meski hari ini bangsa Indonesia secara sah sudah berdaulat selama tiga perempat abad, apakah itu juga terlihat dari kemampuan untuk hidup mandiri?
Salah satu hal yang paling mendasar adalah kedaulatan pangan. Bukan sekadar ketahanan pangan, karena kalau ketahanan yang penting pasokan aman. Entah itu produksi dalam negeri atau impor, pokoknya barang ada di pasar.
Kedaulatan pangan lebih dari ketahanan pangan. Kedaulatan pangan berarti Indonesia bisa memenuhi kebutuhan rakyat tanpa tergantung terlalu banyak terhadap impor.
Setelah 75 tahun merdeka, apakah kedaulatan pangan mampu diwujudkan? Sayangnya belum 100%. Pemenuhan tiga komoditas pangan pokok yaitu beras, jagung, dan kedelai masih saja mengandung unsur impor.
Pertama beras. Produksi padi pada 2019 tercatat 54,6 juta ton. Turun 7,76% dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi catatan terendah sejak 2006.
Dikonversi menjadi beras, maka produksi beras tahun lalu adalah 31,31 juta ton. Turun 7,75% dibandingkan 2018.
Sebenarnya neraca beras nasional masih surplus karena tahun lalu konsumsi nasional adalah 29,6 juta ton. Namun masih ada kebutuhan untuk impor, utamanya beras jenis premium.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras sepanjang 2019 adalah 444.508.791 kg. Beras impor kebanyakan didatangkan dari Myanmar (166.700.625 kg) dan Pakistan (182.564.850 kg).
Kemudian jagung. Tahun lalu, impor jagung manis (mentah maupun direbus) adalah 1.065.275 kg. Naik 12,43% dibandingkan 2018.
Terakhir kedelai. Impor kedelai pada 2018 tercatat sebanyak 2.585.809.099 kg, setahun berikutnya naik menjadi 2.670.086.435 kg.
Neraca kedelai nasional memang berat sebelah. Permintaan selalu di atas 2 juta ton, tetapi produksi tertahan di kisaran 1 juta ton. Jadi selisihnya mesti didatangkan dari impor.
Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia, memberi pesan mendalam soal pangan. Dalam momentum peletakan batu pertama kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952, sang proklamator menegaskan bahwa urusan pangan tidak boleh main-main karena menyangkut nyawa rakyat.
"Soal persediaan makanan rakyat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan. Kalau tidak, kita akan mengalami celaka," tegas Bung Karno kala itu.
Oleh karena itu, kedaulatan pangan harus disamakan dengan status Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harga mati, jangan ditawar lagi. Dengan kondisi sekarang, dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan harga mati tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sudahkah Rakyat Adil-Makmur-Sejahtera?
