
Deretan Negara yang 'Musuhi' China karena Hong Kong

Jakarta, CNBC Indonesia - Selandia Baru telah mengumumkan penangguhan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong pada pekan lalu. Langkah itu diambil sebagai bentuk protes pada China yang telah memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional baru di Hong Kong pada akhir Juni.
Selandia Baru juga telah mengubah kebijakannya tentang ekspor barang-barang militer dan barang-barang penggunaan ganda (dual-use) dan teknologi ke Hong Kong. Aturan ekspor untuk Hong Kong untuk barang-barang itu kini disamakan dengan aturan ekspornya ke China.
Pemerintah pun mengeluarkan peringatan perjalanan kepada warga Selandia Baru tentang risiko bepergian ke Hong Kong. Hal ini menimbulkan balasan dari China.
Mengikuti langkah Selandia Baru, China memang mengumumkan penangguhan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong. Juru bicara kementerian luar negeri China, Wang Wenbin, menyebut Selandia Baru mencampuri urusan dalam negeri China dan mengumumkan keputusan negaranya untuk menangguhkan kerja sama yudisial dengan Selandia Baru.
"Ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional," kata Wenbin dikutip dari South China Morning Post.
Namun demikian, perselisihan yang dihadapi China akibat menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional baru di Hong Kong, bukan hanya terjadi dengan Selandia Baru. Sebelumnya Inggris dan Australia juga telah berselisih dengan China atas hal itu.
Semua negara itu dan negara-negara Barat lainnya, menganggap langkah China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional baru di Hong Kong menyalahi aturan karena bertentangan dengan aturan "satu negara, dua sistem" yang disepakati Inggris dan China saat Inggris mengembalikan Hong Kong ke China pada 1997.
Di bawah aturan "satu negara, dua sistem", Hong Kong yang meskipun merupakan kota milik China, diberi hak kebebasan yang tidak dimiliki China. Kebebasan itu termasuk kebebasan berbicara dan untuk memiliki sistem hukum sendiri, dan itu berlaku hingga 50 tahun sejak tahun penyerahan atau hingga 2047.
Sayangnya, langkah China menerapkan UU baru telah dianggap melanggar kesepakatan itu, meski China telah mengatakan sikapnya tidak bertujuan merusak aturan itu.
Berikut beberapa negara yang telah "bermusuhan" dengan China akibat UU Keamanan Nasional baru Hong Kong.
Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang sekaligus musuh China sejak lama. UU Keamanan Nasional telah menjadi salah satu bara yang memperbesar api perselisihan kedua negara yang sudah terjadi dalam banyak hal.
Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini bahkan telah berselisih soal UU Keamanan Nasional, jauh sebelum UU itu disahkan China. Di mana buktinya terlihat dalam bentuk Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi Hong Kong yang telah dibentuk pemerintahan Presiden Donald Trump di saat Hong Kong masih dilanda demo besar-besaran.
Pasca UU Keamanan Nasional diterapkan China, AS juga maju dengan mencabut status khusus Hong Kong.
Langkah AS itu telah menyulut amarah China, membuat China meluncurkan serangkaian balasan dan bahkan telah menimbulkan bahaya bagi kesepakatan dagang yang sedang diupayakan kedua negara.
Inggris
Pemerintahan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah mengumumkan akan menangguhkan perjanjian ekstradisi Hong Kong pada pertengahan Juli lalu. Pengumuman itu dikeluarkan setelah Inggris mengancam akan membantu warga Hong Kong untuk mendapatkan jalan agar bisa menjadi warga negaranya jika China tetap bersikeras menerapkan UU Keamanan Nasional di Hong Kong.
"Banyak orang di Hong Kong takut dengan cara hidup, yang dijanjikan China untuk ditegakkan, berada di bawah ancaman," katanya sebagaimana ditulis The Times dan South China Morning Post.
"Jika China mewujudkan ketakutan ini, maka Inggris tidak dapat mengabaikannya dan pergi. Sebaliknya kami akan menghormati kewajiban kami dan memberikan alternatif."
Selain itu, Johnson juga dikabarkan telah memerintahkan penghapusan penuh semua peralatan Huawei Technologies dari jaringan 5G Inggris pada akhir tahun 2027. Ada juga isu yang menyebut bahwa Inggris berusaha untuk menerapkan sanksi kepada salah satu pejabat perusahaan itu, seperti yang dituntut oleh beberapa anggota parlemen di Partai Konservatif Johnson.
Beberapa sumber dari surat kabar Inggris Times dan Daily Telegraph, mengatakan pada surat kabar itu bahwa Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga telah menyebut China telah melakukan pelanggaran HAM berat, dan akan mengumumkan penangguhan perjanjian ekstradisi di parlemen.
Kanada dan Australia
Kanada dan Australia, serta Inggris dan AS, telah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam China karena mereka merasa upaya China memberlakukan undang-undang keamanan baru di Hong Kong adalah sebuah pelanggaran langsung terhadap komitmen internasionalnya.
"Keputusan China untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang baru di Hong Kong adalah konflik langsung dengan kewajiban internasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip Deklarasi Bersama China-Inggris yang terikat secara hukum, yang terdaftar di PBB," kata negara-negara itu dalam sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan pada akhir Mei, sebelum China menerapkan UU tersebut.
Keempat negara juga menyebut bahwa undang-undang China akan merusak kerangka kerja "satu negara, dua sistem".
"Hong Kong telah berkembang sebagai benteng kebebasan," kata negara-negara itu pada saat itu, sebelum menambahkan bahwa mereka prihatin dengan keputusan China untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong.
Secara khusus, Australia juga dikabarkan telah menawarkan kewarganegaraan bagi warga Hong Kong. Australia yang sedang berselisih dengan China, akan menjadi negara kedua setelah Inggris, dari lima anggota aliansi The Five Eyes yang menawarkan bantuan tersebut. The Five Eyes adalah aliansi yang dianggotai oleh Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat (AS).
"Ada beberapa proposal yang saya minta untuk diajukan beberapa minggu yang lalu dan akhirnya akan dibuat pada proposal-proposal itu dan mereka akan segera diantarkan oleh kabinet untuk diberikan peluang yang sama," kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam sebuah kesempatan pada awal Juli.
"Kami pikir itu penting dan sangat konsisten melihat siapa kami sebagai orang dan sangat konsisten dengan pandangan yang kami nyatakan."
Hong Kong sendiri merupakan rumah bagi kelompok ekspatriat Australia terbesar kedua di dunia, dengan lebih dari 100.000 orang warganya tinggal di kawasan semi-otonom itu.
"Ketika kami telah membuat keputusan akhir tentang itu, maka saya akan membuat keputusan," tambah Morrison. "Apakah kita siap untuk melangkah dan memberikan dukungan? Jawabannya adalah iya."
Jepang
Meski belum mengambil langkah memusuhi, Jepang telah mengeluarkan kecaman pasca China memberlakukan UU Keamanan Nasional di Hong Kong. Sebagaimana dilaporkan Japan Times pada akhir Juni, Jepang menyebut langkah China akan mengguncang kepercayaan internasional pada prinsip "satu negara, dua sistem".
"Diundangkannya undang-undang keamanan nasional merusak kredibilitas prinsip 'satu negara, dua sistem'," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga dalam jumpa pers reguler, seraya menambahkan bahwa Jepang akan terus bekerja sama dengan negara-negara terkait pada tanggapan yang tepat.
Menteri Pertahanan Taro Kono, calon perdana menteri, juga mengatakan pada konferensi pers saat itu bahwa langkah China dapat memiliki implikasi besar bagi kunjungan kenegaraan yang direncanakan oleh Presiden China Xi Jinping.
"Jika (berita tentang undang-undang hukum keamanan) benar, saya tidak bisa membantu tetapi mengatakan itu akan berdampak signifikan pada kunjungan kenegaraan yang direncanakan Pimpinan Xi," kata Kono.
Jepang memiliki hubungan ekonomi yang sangat erat dengan Hong Kong, dan protes pro-demokrasi hingga masalah undang-undang keamanan nasional telah membuat komunitas bisnis gelisah. Kota ini menyumbang sekitar 2,5% dari total perdagangan Jepang pada 2019, menjadikannya mitra dagang terbesar kesembilan bagi Jepang. Sekitar 1.400 perusahaan Jepang beroperasi di Hong Kong.
Jerman
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Mass telah secara langsung menyampaikan kritiknya pada China soal masalah Hong Kong, jauh sebelum UU keamanan nasional diterapkan. "Otonomi Hong Kong tidak boleh dirusak," kata Mass, menurut CNBC International pada Mei.
"Warga Hong Kong menikmati kebebasan dan hak, yang diberikan kepada mereka melalui Hukum Dasar dan dengan prinsip 'satu negara, dua sistem'. Kami berharap hukum dan ketertiban itu ditegakkan."
Ia juga menyebut bahwa prinsip 'satu negara, dua sistem', dan hukum dan ketertiban adalah dasar untuk stabilitas dan kemakmuran Hong Kong.
"Bahkan hukum keamanan tidak boleh mempertanyakan prinsip-prinsip ini," tambahnya. "Kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul serta debat demokratis di Hong Kong harus dihormati di masa depan."
Taiwan
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjanjikan dukungan untuk Hong Kong segera setelah China mengusulkan undang-undang itu. "Taiwan mendukung rakyat Hong Kong," katanya dan berjanji akan memberikan bantuan yang diperlukan.
Taiwan merupakan wilayah yang diklaim China sebagai bagian dari wilayahnya dan China menganggap pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu sebagai provinsi yang harus dipersatukan dengan daratan.
Dalam sebuah tweet setelah RUU itu disetujui, Tsai mengatakan dia telah bergerak untuk membuat rencana aksi bantuan kemanusiaan untuk warga Hong Kong, yang beberapa di antaranya telah beremigrasi ke Taiwan di tengah ketidakpastian.
Uni Eropa
Uni Eropa dan negara-negara anggotanya telah mengatakan akan mengambil tindakan terkoordinasi untuk menanggapi sikap China terhadap Hong Kong. Kepala kebijakan luar negeri blok itu pada pertengahan Juli, mengatakan langkah itu termasuk meninjau kembali larangan ekspor untuk teknologi sensitif, memperluas kemungkinan visa bagi warga Hong Kong dan mempertimbangkan kembali pengaturan ekstradisi, sebagaimana dikutip dari Wall Street Journal.
(res)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Uni Eropa Warning China, Ada Apa Lagi?
