Resesi Hong Kong: Sudah Loyo, Susah Berdiri

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 July 2020 15:13
Bendera Hong Kong dan Bendera China (AP/Andy Wong)
Foto: Bendera Hong Kong dan Bendera China (AP/Andy Wong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hong Kong, sebuah kota seluas 1.100 kilometer persegi yang dihuni oleh hampir 8 juta orang itu kini jatuh ke dalam jurang resesi yang dalam. Sudah empat kuartal berturut-turut pusat keuangan Asia itu mengalami kontraksi ekonominya. 

Data Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong menunjukkan output perekonomian kota yang terletak di bagian selatan China itu menyusut 9% (YoY) pada kuartal kedua tahun ini. 

Sebelumnya pada kuartal pertama pertumbuhan PDB Hong Kong juga sudah minus. Angka kontraksinya pun tak jauh berbeda. Dengan begitu, Hong Kong sah resesi karena dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi 9%. 

Kontraksi yang terjadi saat ini merupakan yang terparah sejak tahun 1974. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir resesi Hong Kong semakin parah. PDB kota bekas koloni Inggris itu pertama kali mengalami kontraksi pada kuartal ketiga tahun 2019. 

Kontraksi dimulai ketika gelombang demonstrasi menolak aturan ekstradisi mulai terjadi di bulan Juni. Kondisi kota itu seketika berubah menjadi sangat mencekam. Bentrokan antara aparat dan sipil tak dapat dihindarkan. Fasilitas umum pun rusak. 

Kisruh tersebut terjadi berbulan-bulan lamanya. Fenomena social unrest yang berlangsung lama ini membuat wisatawan yang berkunjung ke kota tersebut anjlok. Mengutip Japan Times, jumlah kunjungan wisatawan anjlok hingga 46% pada Oktober tahun lalu. 

Sepinya kunjungan para wisatawan serta rusaknya fasilitas umum seperti stasiun membuat roda ekonomi Hong Kong tersendat. Penjualan ritel bahkan anjlok hingga lebih dari 24%. Angka pengangguran di kota tersebut naik ke 3,2% pada November dan menjadi yang tertinggi sejak 2017. 

Pada kuartal ketiga dan keempat tahun lalu PDB Hong Kong menyusut masing-masing 2,8% dan 3% (yoy). Ini adalah kisah Hong Kong sebelum 'pagebluk' Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menghantam ekonomi global.


Kemudian mimpi buruk pun berlanjut ketika wabah yang berasal dari Wuhan, China mulai menyebar ke seluruh dunia termasuk Hong Kong. Lockdown yang masif membuat lebih dari tiga miliar penduduk bumi harus terkurung di dalam rumah. 

Lockdown membuat aktivitas perekonomian seolah mati suri. Upaya untuk mengendalikan patogen berbahaya yang menyebar dengan cepat itu pada akhirnya memukul perekonomian dari dua sisi (double hit).

Disrupsi rantai pasok dan pelemahan permintaan adalah konsekuensi yang harus dialami banyak negara di dunia terutama yang menerapkan lockdown. Berbeda dengan China daratan yang melakukan karantina ketat, Hong Kong memilih untuk tidak menghancurkan perekonomiannya lebih lanjut.

Berkaca dari pengalaman saat SARS, Hong Kong menerapkan beberapa kebijakan mulai dari mengetatkan kontrol terhadap daerah-daerah perbatasan dan juga contact tracing. Kultur masyarakatnya yang sadar dan akan bahaya dari pandemi ini juga membuat Hong Kong tak semengerikan daerah lainnya. 

Pada awal Juli restoran dan pertokoan masih buka di Hong Kong. Pada awal bulan ini, para karyawan kantoran mulai kembali bekerja, pusat kebugaran dan hiburan malam juga sudah buka. 

Namun Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia ekonominya ditopang oleh perdagangan dan pariwisata. Nilai ekspor kota tersebut baik barang maupun jasa mencapai 174% dari total GDP dan membuatnya menjadi sangat rentan terhadap resesi global. 

Hong Kong menjadi kota yang ekonominya paling bergantung pada perdagangan jika dibandingkan dengan ekonomi Asia lainnya untuk kelompok Asia non Jepang (AxJ). Ini menjadi alasan mengapa pada kuartal pertama dan kedua ekonomi Hong Kong terkontraksi sangat parah hingga 9% sendiri dan terjerembab di jurang resesi.

Probabilitas Hong Kong dapat bangkit dari keterpurukan ini terbilang kecil. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Tensi geopolitik Washington-Beijing yang terus tereskalasi telah menyeret Hong Kong ke dalam pusaran konflik.

Pengesahan UU Keamanan Nasional Hong Kong oleh Partai Komunis Tiongkok membuat publik global mempertanyakan otonomi yang dinikmati Hong Kong dengan satu negara dua sistem. 

Uncle Sam yang kini memilih untuk memusuhi China jadi punya alasan untuk memepet China. Washington mengutuk tindakan Beijing dengan mencabut status istimewa Hong Kong. Konsekuensinya adalah Hong Kong akan diperlakukan sama dalam segala hal sebagaimana AS memperlakukan China. 

Derita Hong Kong tidak hanya sampai di situ saja. Lonjakan kasus yang terjadi di kota tersebut membuat prospek ekonomi di kuartal ketiga juga masih suram. Hong Kong melaporkan tambahan 118 kasus baru pada Rabu kemarin (29/7/2020) sehingga total penderita Covid-19 mencapai angka 3.002.

"Lonjakan kasus Covid-19 baru-baru ini secara lokal, telah mengaburkan prospek jangka pendek untuk kegiatan ekonomi domestik," kata pemerintah dalam sebuah press rilis sebagaimana diwartakan Bloomberg

"Seiring dengan lonjakan kasus di bulan Juli dan pemerintah mulai melakukan pengetatan, prospek kuartal III tetaplah menantang. Kemungkinan besar pertumbuhan negatif kuartal selanjutnya masih akan terjadi" kata Raymond Yeung, chief economist untuk Wilayah China, Australia & New Zealand Banking Group Ltd.

Akibat kontraksi yang terjadi, angka pengangguran naik ke level tertinggi dalam 15 tahun terakhir sehingga membuat populasi miskin di kota tersebut semakin rentan. Penjualan ritel pun diperkirakan mengalami kontraksi dobel digit lagi. 

"Kami memperkirakan banyak restoran kecil akan tutup dan tingkat pengangguran akan naik ke kisaran 8%" kata Iris Pang, Chief Economist ING Bank kepada Bloomberg. Sebagai gambaran, tingkat pengangguran Hong Kong saat ini sudah berada di angka 6,2%.

Melihat beban berat ini sepertinya butuh waktu lama untuk Hong Kong bisa kembali pulih. "Mungkin butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk ekonomi dapat kembali pulih" kata  Paul Chan Financial Secretary Hong Kong dalam postingan blognya pada 26 Juli lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular