Internasional

Perang Dingin AS-China, Ini Deretan Konflik Trump-Xi Jinping

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
23 July 2020 13:38
INFOGRAFIS, Damai Perang Dagang As-China Berujung Kebuntuan
Foto: Infografis/Perang Dagang AS-China/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara China dan Amerika Serikat kian memburuk setelah kedua negara itu menormalkan hubungan diplomatik lebih dari empat dekade lalu.

Presiden AS Donald Trump memang berulang kali mengungkapkan kekaguman terhadap Presiden China Xi Jinping. Namun di sisi lain, Administrasi Trump membuat tegang hubungan kedua negara, salah satunya dari sisi pertahanan, perdagangan, teknologi, hingga masalah hak asasi manusia.

Administrasi Trump bahkan mempertimbangkan larangan total perjalanan ke Amerika Serikat oleh 92 juta anggota Partai Komunis China, dan kemungkinan pengusiran setiap anggota partai yang saat ini sedang tinggal di AS. Ini adalah suatu tindakan yang mengundang pembalasan serupa terhadap WN AS yang tinggal di China.

Berikut masalah-masalah yang memperburuk hubungan antara AS dan China dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana dilansir dari The New York Times.

Virus Corona dan Rasisme anti-China

Virus corona (Covid-19) muncul pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Dalam kurun waktu beberapa minggu, virus tersebut menyebar ke seluruh pelosok bumi, dan kini sudah menjangkit lebih dari 15,3 juta penduduk dunia.

AS sendiri merupakan negara dengan total angka kasus positif dan kematian tertinggi di dunia. Trump sebelumnya menyalahkah China atas menyebarnya virus dengan nama resmi SARS-CoV-2 ini. Bahkan Trump berulang kali menggambarkan virus dalam istilah rasis dan stigma, menyebutnya 'virus Wuhan', 'virus China'. dan 'Kung Flu'.

China yang geram mengkritik tanggapan pemerintah Amerika yang buruk terhadap wabah tersebut. Mereka bahkan membalas AS dengan membuat propaganda counter theory tanpa bukti bahwa tentara Amerika mungkin membawa sumber asli virus selama kunjungan ke Wuhan Oktober 2019 lalu.


Hubungan Perdagangan AS-China

Pada 2016, Trump menuduh China mengeksploitasi hubungan perdagangan kedua negara, dengan AS menjual jauh lebih banyak daripada yang dibeli. Trump akhirnya menetapkan serangkaian tarif hukuman untuk barang-barang China, dan Cina membalas hal tersebut.

Perang dagang tersebut berlangsung lebih dari dua tahun. Kini sedang dilakukan gencatan senjata sementara yang diumumkan pada Januari dengan penandatanganan 'perjanjian perdagangan Fase 1', dengan sebagian besar tarif tidak berkurang.

President Donald Trump shakes hands with Chinese Vice Premier Liu He, after signing a trade agreement in the East Room of the White House, Wednesday, Jan. 15, 2020, in Washington. (AP Photo/Evan Vucci)Foto: Presiden Donald Trump di acara penandatanganan perjanjian perdagangan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. (AP Photo/Evan Vucci)
President Donald Trump shakes hands with Chinese Vice Premier Liu He, after signing a trade agreement in the East Room of the White House, Wednesday, Jan. 15, 2020, in Washington. (AP Photo/Evan Vucci)



Pertikaian di Laut China Selatan

Pemerintahan Trump semakin menantang pernyataan kedaulatan China dan kontrol atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk jalur vital pelayaran maritim.

Belum lama ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang menggambarkan China sebagai ancaman keamanan utama, memutuskan bahwa sebagian besar klaim China di perairan tersebut "benar-benar melanggar hukum", dan menyiapkan potensi konfrontasi militer antara pasukan angkatan laut China dan AS di wilayah Pasifik.

Militer AS di Laut Cina Selatan (Tangkapan layar twitter @USPacificFleet)Foto: Militer AS di Laut Cina Selatan (Tangkapan layar twitter @USPacificFleet)
Militer AS di Laut Cina Selatan (Tangkapan layar twitter @USPacificFleet)

Pertarungan Teknologi

Pemerintah AS telah lama menuduh China mencuri teknologi Amerika. Gedung Putih bahkan meningkatkan tuduhan lebih lanjut dengan mencari daftar hitam internasional Huawei, perusahaan teknologi terbesar China, menyebutnya sebagai upaya China untuk menyusup ke infrastruktur telekomunikasi negara-negara lain untuk keuntungan strategis.

Chief technology officer Huawei, Meng Wanzhou juga telah ditahan di Kanada sejak Desember 2018 dengan surat perintah ekstradisi ke AS atas tuduhan penipuan. Pekan lalu Inggris menyatakan pihaknya berpihak pada AS dalam melarang produk-produk Huawei dari jaringan nirkabel berkecepatan tinggi.

In this Oct. 31, 2019, photo, attendees walk past a display for 5G services from Chinese technology firm Huawei at the PT Expo in Beijing. Chinese tech giant Huawei is asking a U.S. federal court to throw out a rule that bars rural phone carriers from using government money to purchase its equipment on security grounds, announced Thursday, Dec. 5, 2019. (AP Photo/Mark Schiefelbein)Foto: Huawei (AP Photo/Mark Schiefelbein)
In this Oct. 31, 2019, photo, attendees walk past a display for 5G services from Chinese technology firm Huawei at the PT Expo in Beijing. Chinese tech giant Huawei is asking a U.S. federal court to throw out a rule that bars rural phone carriers from using government money to purchase its equipment on security grounds, announced Thursday, Dec. 5, 2019. (AP Photo/Mark Schiefelbein)



Pengusiran Jurnalis dan Pekerja Media

Pemerintahan Trump menuduh outlet media pemerintah China memicu propaganda. Ia bahkan membatasi jumlah warga China yang dapat bekerja untuk organisasi berita China di AS. China membalas dengan memerintahkan pengusiran para jurnalis dari The New York Times, The Washington Post dan The Wall Street Journal.

Pemerintah China bahkan mengambil langkah lain yang menimbulkan hambatan lebih lanjut terhadap akses pers AS di China. Prihatin tentang kemungkinan pembatasan lebih lanjut pada jurnalis yang bekerja di China, The New York Times pekan lalu mengumumkan bahwa mereka memindahkan banyak pusat berita utamanya di Hong Kong ke Seoul, Korea Selatan.

Pengusiran Siswa Asing

Pemerintahan Trump mengambil langkah untuk membatalkan visa ribuan mahasiswa dan peneliti pascasarjana asal China di AS, terutama mereka yang memiliki ikatan langsung dengan universitas yang berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Rakyat.

Pengusiran seperti itu menandakan kemungkinan pembatasan pendidikan, dan pemerintah China dapat membalas dengan memberlakukan larangan visa pada orang Amerika di negaranya.

Penindasan Kebebasan Demokratis di Hong Kong

November 2019 lalu, Trump, dengan dukungan bipartisan, menandatangani undang-undang yang dapat menghukum pejabat China yang menekan perbedaan pendapat oleh para pendukung demokrasi di Hong Kong, yakni wilayah bekas koloni Inggris dan pusat keuangan Asia yang dijamin memiliki otonomi oleh China.

Pada Mei 2020, Trump mengatakan dia mengambil langkah untuk mengakhiri status perdagangan preferensial Hong Kong dengan AS setelah China mengeluarkan undang-undang keamanan baru yang bisa digunakan untuk menahan segala bentuk ekspresi yang dianggap menghasut oleh pemerintah China.

Penindasan Muslim Uighur di Xinjiang

Bulan ini pemerintahan Trump memberlakukan sanksi pada sejumlah pejabat China, termasuk anggota senior Partai Komunis, atas pelanggaran HAM oleh China di wilayah Xinjiang terhadap minoritas Muslim Uighur. Akibatnya, China akan melakukan pembalasan terhadap institusi dan individu Amerika yang dianggapnya melakukan tindakan "mengerikan" dalam masalah yang menyangkut Xinjiang.

Masalah di Taiwan dan Tibet

Pada Mei 2020, administrasi Trump menyetujui penjualan senjata senilai 180 juta dolar ke Taiwan. Namun bagian dari kesepakatan senjata yang jauh lebih besar ini membuat marah pihak berwenang China.

Sumber kemarahan China yang sudah berlangsung lama adalah rasa hormat AS terhadap Dalai Lama, pemimpin spiritual di pengasingan Tibet, bekas kerajaan Himalaya di barat jauh China. Pada tahun 2018, Trump juga menandatangani undang-undang yang menghukum pejabat China yang membatasi perjalanan pejabat Amerika, jurnalis, dan warga negara lainnya ke Tibet.

November lalu, duta besar Departemen Luar Negeri untuk kebebasan beragama internasional, Samuel D. Brownback, memperingatkan bahwa hanya orang Tibet yang dapat memilih penerus Dalai Lama, yang kini berusia 85 tahun. Ini menjadi bentrokan baru dengan Beijing, yang berpendapat akan memilih pengganti Dalai Lama.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kayak Orang Pacaran, AS-China Bisa 'Balikan' Lagi Tapi...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular