
Trump Turun Gunung, Bakal Sanksi China di Laut China Selatan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mungkin akan menerapkan sanksi lagi pada China. Kali ini, akibat klaimnya di atas Laut China Selatan.
"Tidak ada yang tidak dipertimbangkan," kata David Stilwell, asisten Menteri Luar Negeri untuk Biro Urusan Asia Timur dan Pasifik, ketika ditanya apakah AS akan mempertimbangkan untuk menggunakan sanksi untuk China, dikutip CNBC International, Rabu (15/7/2020).
"Ada ruang untuk itu dan ini adalah bahasa yang dimengerti China, tindakan jelas dan nyata."
"Di mana pun Anda berada, Beijing semakin ingin meningkatkan klaim, memaksa, dan mengendalikan. Sesuai sifatnya, negara itu tidak dapat menerima dunia yang pluralistik dengan kebebasan pilihan dan hati nurani yang mendasar," kata Stilwell lagi, seraya menambahkan bahwa keterlibatan AS di wilayah tersebut hanya untuk menegakkan hukum yang ada.
"Ini tugas rumah. Ini adalah hal-hal yang harus kita lakukan sejak lama."
Komentar Stilwell muncul setelah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegur China pada Senin atas "kampanye penindasan" negara itu di Laut China Selatan.
Pompeo mengatakan AS akan memperkuat posisinya di wilayah itu dan menyebut sebagian besar klaim teritorial China di perairan yang disengketakan banyak negara itu sebagai hal ilegal. "Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kerajaan maritimnya," katanya.
Menanggapi komentar Pompeo, Kedutaan Besar China di Washington mengatakan bahwa AS membahayakan hubungan China dengan negara lainnya di kawasan.
"Dengan dalih menjaga stabilitas, negara itu melakukan latihan, membangkitkan ketegangan dan menghasut konfrontasi di kawasan itu," kata pernyataan Kedutaan. Perwakilan China itu juga menambahkan bahwa AS bukan negara yang terlibat langsung dalam perselisihan dan kehadirannya hanya mengganggu.
Laut China Selatan yang menjadi akar masalah kedua negara merupakan rumah bagi lebih dari 200 pulau. Perairan ini juga merupakan pintu gerbang ke rute laut global di mana senilai hampir US$ 4 triliun perdagangan melewati wilayah ini setiap tahunnya.
Lebih dari US$ 1 triliun perdagangan itu terkait dengan pasar AS. Laut tersebut juga diyakini mengandung minyak dan gas alam yang nilainya diperkirakan mencapai US$ 2,6 triliun.
Wilayah ini sendiri menjadi rebutan oleh China, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam sejak lama. Akibat klaim yang tumpang tindih selama bertahun-tahun, banyak pos-pos militer telah dibangun masing-masing negara di kawasan.
Hampir seluruh perairan ini telah diklaim China sejak lama. China pertama kali mengklaim Fiery Cross Reef dan Subi Reef pada tahun 1988 dan sejak itu membangun pelabuhan laut, hangar pesawat terbang, fasilitas komunikasi, kantor administrasi dan landasan pacu 10.000 kaki di kedua wilayah.
Pada Mei 2018, China secara diam-diam memasang rudal jelajah anti-kapal dan sistem rudal darat-ke-udara pada tiga pos terdepan yang dibentengi di barat Filipina.
Menurut laporan intelijen AS, instalasi tersebut menandai penyebaran rudal China pertama ke Fiery Cross Reef, Subi Reef, dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly. Pulau Spratly, yang diklaim oleh enam negara, terletak di dekat Vietnam selatan hingga Filipina selatan.
(res/res)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapal Militer AS-China Hampir Tabrakan di Laut China Selatan
