Sedih, RI Tak Masuk Radar Produsen Tekstil Potensial di Asia

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 July 2020 08:10
tekstil
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Lagi-lagi, industri manufaktur nasional kian terancam, kali ini di sektor tekstil. Pasca-pandemi di tengah pergeseran produksi tekstil China, industri tekstil Vietnam diprediksi kian menduduki posisi kunci di tengah lompatan produksi tekstil Asia.

Dalam laporan berjudul "Asia Will Remain A Dominant Player In Textiles Manufacturing As Global Supply Chains Shift", Fitch Solutions menyebutkan bahwa penurunan industri apparel di China tidak bakal mengganggu keunggulan Asia di pasar tekstil dunia.

Perusahaan riset dan konsultasi global tersebut menyebutkan ada empat negara yang bakal diuntungkan dari konstalasi pasar tekstil dunia seperti sekarang, yakni Bangladesh, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar (BVKM).

"Sejalan dengan itu, kami sudah melihat Vietnam diuntungkan dari tren ini dan bakal melihat lebih banyak investasi masuk ke negara tersebut," tutur Fitch dalam laporan yang dirilis pada Selasa (14/7/2020).

Alasannya, menurut Fitch, Vietnam dan tiga negara lainnya yang disebut sebagai negara BVKM tersebut bakal diuntungkan dari proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dipastikan memperlancar pasokan bahan baku dan bahan mentah industri tekstil dari China.

qaSumber: Fitch Solutions

Khusus untuk Vietnam, Fitch menilai industri tekstil di negara ini memiliki keunggulan dalam hal limpahan tenaga kerja usia produktif, yang porsinya mencapai 70% dari angkatan kerja. Selain itu, tingkat upah di Vietnam lebih murah ketimbang di China.

Risiko Vietnam juga dinilai lebih rendah, yang terlihat dari Fitch Solutions Operational Risk Index Negeri Paman Ho yang berada di level 52,3 atau di atas Bangladesh, Kamboja dan Myanmar.

Tidak heran, ketika meletus perang dagang antara AS dan China, Vietnam menikmati berkah lonjakan investasi tekstil asal China, karena banyak pabrikan Negeri Tirai Bambu tersebut berpindah ke Vietnam agar produknya tak terkena tarif tinggi AS.

Fitch mencatat selama perang dagang pada 2019, ekspor tekstil dari Vietnam lompat 30%, dan tumbuh 15,8% secara rata-rata tertimbang per tahun (compounded annual gowth rate/CAGR) 2010=2019.

Pangsa pasar mereka pun merangsek menjadi 8,7% dari pasar tekstil dunia pada 2019, naik drastis dari posisi 2018 sebesar 6,8%. Ini mengantarkan Vietnam menjadi jawara kedua industri tekstil dunia setelah China. Indonesia di posisi dengan pangsa pasar sebesar 1,6% dari perdagangan tekstil dunia.

Indonesia, sayangnya, tidak menjadi negara yang diperkirakan menerima berkah lonjakan investasi di industri tekstil meski Ftch tetap mengakui bahwa Indonesia (bersama India) masih bakal menjadi penerima potensial peralihan manufaktur dan pertumbuhan pasar apparel global.

"Pertumbuhan tahunan kedua negara tersebut bakal terlihat kurang impresif jika dibandingkan dengan empat negara lainnya," demikian tulis Fitch.

Problemnya terletak pada keunggulan kompetitif (competitive advantage) untuk menembus pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Tidak seperti Vietnam yang telah menekan perjanjian kebebasan dagang dengan Uni Eropa pada 30 Juni tahun lalu, Indonesia sampai sekarang masih menggodok Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Eropa.

Harap dicatat, Uni Eropa merupakan pasar besar tekstil dunia dengan menyerap 39% ekspor tekstil dunia. FTA Vietnam-Uni Eropa yang bakal berlaku efektif pada Agustus 2020 tentunya memberi produk tekstil Vietnam keunggulan dibandingkan dengan produk Indonesia.

Produk tekstil Indonesia bakal terhitung lebih mahal jika dibandingkan dengan produk serupa asal VIetnam karena terkena tarif yang lebih mahal, sementara produk serupa dari Vietnam lebih murah karena bebas tarif atau tarifnya dipangkas.

Di luar itu, biaya produksi tekstil Indonesia diperkirakan lebih mahal. Beberapa faktor pemicunya, menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia di antaranya adalah upah buruh yang lebih mahal, mesin yang tua sehingga kurang produktif dan boros energi. Akibatnya, neraca dagang tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional terus menurun.

Belum lagi jika bicara impor bahan baku tekstil dari China yang biaya pengirimannya lebih mahal ketimbang Vetnam yang secara geografis lebih dekat dan lebih efisien berkat proyek "jalur sutra" China lewat proyek BRI.

"Kurangnya akses perdagangan khusus, lewat perjanjian dagang tekstil di pasar AS dan Eropa dan kenaikan biaya operasi (khusus untuk kasus Indonesia), akan menjadi penghambat," demikian tulis Fitch.

Hanya saja, Indonesia dan India masih bakal menjadi pasar tekstil yang besar di kawasan, karena tumbuhnya permintaan domestik. Dengan populasi yang besar, yakni 1,4 miliar di India dan 274 juta di Indonesia, keduanya menduduki posisi sebagai negara dengan populasi terbanyak kedua dan keempat dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular