Jakarta, CNBC Indonesia - Kalau Anda melihat dokumen atau postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka ada kemungkinan kepala Anda bakal berputar-putar. Angka kuadriliun alias ribuan triliun terhampar, entah butuh berapa angka untuk menulis bilangan itu secara eksak.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020, penerimaan negara ditarget sebesar Rp 1.669.948.459.678.000. Kalau dibaca nominalnya akan berbunyi satu kuadriliun enam ratus sembilan puluh sembilan triliun sembilan ratus empat puluh delapan miliar empat ratus lima puluh sembilan juta enam ratus tujuh delapan ribu rupiah. Wow...
Sementara belanja negara diperkirakan sebesar Rp 2.739.165.851.403.000. Kalau dibaca menjadi dua kuadriliun tujuh ratus tiga puluh sembilan triliun seratus enam puluh lima miliar delapan ratus lima puluh satu juta empat ratus tiga ribu rupiah. Hebat kalau bisa dibaca dalam satu tarikan napas.
Di Asia, nominal rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) adalah yang tertinggi kedua setelah dong Vietnam. Sebagai gambaran, berikut perkembangan kurs mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 10:20 WIB:
Oleh karena itu, sudah lumayan lama Indonesia memikirkan soal perubahan harga rupiah alias redenominasi. Wacana tersebut sudah muncul setidaknya sejak 2010 alias satu dekade lalu.
"Presiden seingat saya tidak mengatakan sudah setuju (redenominasi). Namun jangan menutup diri terhadap apa pun sebuah pemikiran, meskipun bukan berarti sudah menyetujui" kata Hatta Rajasa, Menko Perekonomian periode 2009-2014, dalam sebuah kesempatan pada Januari 2011.
Kini pemerintah mulai serius lagi untuk mewujudkan redenominasi. Rencana redenominasi masuk di daftar beleid yang akan dibahas pemerintah dan parlemen selama periode 2020-2024.
Sebenarnya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pernah mencoba untuk mengajukan pembahasan redenominasi pada 2017. Kala itu, pemerintah dan BI mengirim proposal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Bahwa pada saat ini pecahan Rupiah memiliki jumlah digit yang terlalu banyak, sehingga untuk efisiensi transaksi perekonomian dan meningkatkan kredibilitas Rupiah, perlu dilakukan penyederhanaan jumlah digit pada denominasi uang rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukarnya," sebut konsiderans huruf c RUU Perubahan Harga Rupiah.
Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa redenominasi rupiah dilakukan dengan menghilangkan tiga digit nol sehingga Rp 1.000 menjadi sama dengan Rp 1. Kemudian pada pasal 2 ayat (2) disebutkan Rp 1 akan setara dengan 100 sen.
Sedangkan dalam pasal 2 ayat (3) dikatakan bahwa redenominasi rupiah mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Kita semua tahu ini tidak terjadi karena RUU ini belum selesai disahkan sehingga belum menjadi produk hukum yang mengikat.
 dpr.go.id |
"Judul RUU ini diusulkan oleh Komisi XI DPR untuk masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2015-2019. Pada periode keanggotaan 2009-2014 sudah sampai Tahap Pembicaraan Tingkat I, namun belum mulai pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Draf NA (Naskah Akademik) dan RUU sebelumnya disusun oleh Pemerintah karena substansinya lebih bersifat teknis," sebut keterangan di situs DPR.
Kalau pemerintah masih menggunakan draf yang diserahkan pada 2017, maka pada pasal 5 disebutkan bagaimana caranya membulatkan nilai rupiah dengan skema redenominasi. Di ayat (1) dikatakan konversi harga yang menghasilkan nilai pecahan kurang dari satu sen, maka nilai pecahan tersebut dibulatkan ke sen terdekat. Kemudian di ayat (2) disebutkan bahwa pembulatan dilakukan dengan ketentuan nilai 0,5 sen atau lebih dibulatkan menjadi satu sen, dan nilai yang kurang dari 0,5 sen dihilangkan.
Andai RUU Perubahan Harga Rupiah berlaku dan redenominasi diterapkan sejak 1 Januari 2020, maka semestinya BI akan mengeluarkan uang rupiah dengan kata 'baru' seperti tertuang dalam pasal 6 huruf (a). Kemudian kata 'baru' akan dihapus mulai 1 Januari 2020, sebagaimana ditulis di pasal 6 huruf (b).
Dalam masa peralihan, pelaku usaha wajib mencantumkan dua harga yaitu rupiah lama dan rupiah baru yang sudah diredenominasi agar masyarakat bisa menyesuaikan diri. Bagi yang tidak mencantumkan dua harga, maka siap-siap mendapat sanksi berupa denda maksimal Rp 200.000 dalam nilai rupiah baru atau Rp 200 juta sebelum redenominasi, seperti diatur dalam pasal 14 ayat (1). Jika denda itu tidak dibayar, maka pidana denda bisa diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, seperti diamanatkan pasal 14 ayat (2).
Manusia boleh berencana, tetapi tidak ada yang bisa memastikan apakah rencana itu bisa terwujud atau tidak. Redenominasi gagal dilaksanakan pada tahun ini, seperti yang direncanakan dalam RUU Perubahan Harga Rupiah. Namun siapa tahu usaha kali ini berhasil.
TIM RISET CNBC INDONESIA